Selasa, 20 November 2012

Rumah Puisi Taufiq Ismail


RUMAH PUISI TAUFIQ ISMAIL



Mumpung lagi berada di  ranah Minang dalam waktu yang tak panjang, kami tak mau membiarkan waktu berlalu tanpa mengunjungi tempat yang kami buru. Setiap hari selalu pergi dari pagi dan baru kembali malam hari. Meski selama lima hari menginap di rumah Walikota Padang Fauzi Bahar, bertemu dengan beliau cuma sebentar-sebentar, selebihnya waktu dihabiskan dengan jalan-jalan. Beliau sudah tak heran melihat aku terlalu banyak kegiatan, ini kunjungan yang kesekian yang menjadikan rumahnya sebagai tempat penginapan.

Perjalanan rutin sejak tahun 2009 (minimal sekali dalam setahun) itu memang diagendakan untuk berkeliling ke Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat, mengunjungi tempat dan obyek-obyek wisata. Lewat tulisan dan foto-foto, cerita perjalanan wisata tim Pulau Api kami bagikan agar informasi mengenai tempat-tempat tersebut semakin banyak yang mengetahui. Lewat cara seperti itulah kami ingin ikut berpartisipasi dalam memajukan pariwisata di Sumatera Barat.

Tujuan kali ini adalah ke rumah Puisi Taufik Ismail di Padangpanjang. Kami sengaja memilih jalur yang melewati Danau Maninjau terus naik ke kelok ampekpuluh ampek, lewatin Kotogadang Bukittinggi, baru ke Padang Panjang. Perjalanan yang lebih singkat waktu tempuhnya sebenarnya bisa melalui jalur Padang-Padangpanjang, tapi sengaja kami memilih jalan memutar, maklumlah kami sedang bertamasya.



Tiba di rumah puisi sudah sore. Mobil kami parkir di Rumah makan Aie Badarun yang terletak tak jauh dari situ, ke lokasi kami berjalan kaki melewati jalan yang mendaki. Di luar berdiri tugu yang menampilkan salah satu puisi karya sastrawan terkenal itu. Puisi yang juga dijadikan lagu dan dinyanyikan dengan suara merdu oleh grup Bimbo, Dengan Puisi.

Karena hari telah menjelang senja tempat ini terlihat sepi, namun rumah yang menjadi semacam perpustakaan yang nyaman ini ternyata tak berkunci, sambil mengucapkan salam kami masuk ke dalam dan seketika saja semuanya langsung asyik sendiri-sendiri, menikmati apa yang menjadi minat hati. Semua tak bersuara, aku diam di hamparan hambal dan bersandar pada bantal besar, sekali-sekali membaca sambil tiduran, santai dan menyenangkan.



Rumah yang sekaligus seperti ruang pameran, menyimpan berbagai macam koleksi buku,  selesai dibangun pada pertengahan tahun 2008 dan berfungsi sebagai pusat Kebudayaan, tempat pelatihan guru bahasa dan sastra serta menjadi sanggar tempat berlatih para siswa. Bangunan yang berada diatas lahan yang luas terletak di kaki Gunuang Singgalang dan Merapi, Nagari Aia Angek, Jl Raya Padang Panjang-Bukiktinggi km 6, Sumatera Barat.



Taufik Ismail seorang penyair kelahiran Bukittinggi memang dikenal sebagai sosok yang demikian sangat peduli pada perkembangan sastra di Indonesia, beliau prihatin terhadap kondisi pengajaran sastra di Indonesia dan mendedikasikan hidupnya untuk memperbaiki kondisi tersebut. 
Beliau melakukan survey mengenai wajib baca buku sastra di sekolah pada tahun 1990 an. Hasil penelitiannya dipajang di ruang depan tepat di depan pintu masuk. Mau tau berapa buku sastra yang wajib di baca para siswa di sekolah Indonesia? 
Jawabnya Nol buku. 
Menyedihkan sekali kenyataan itu



Oya, bagi yang belum sempat ke Rumah Puisi sampai saat ini, silahkan nikmati dulu foto-foto ini, lalu buatlah jadwal untuk berkunjung kesana, buka jendela dunia selebar-lebarnya, raup manfaat sebanyak-banyaknya dengan membaca.

semua asyik sendiri-sendiri


























Di Rumah Puisi kita tak akan mungkin bosan, selain pemandangan disekitarnya menawan, bunga warna-warni di halaman semakin membuat rasa kerasan.


















Terpukau di Puncak Langkisau




Ini kunjungan kedua kalinya ke daerah yang dikatakan memiliki pemandangan alam yang sangat begitu mempesona. Bukan karena rasa tidak percaya sehingga harus mengulangnya, tetapi lebih karena kunjungan pertama meninggalkan rasa ridu yang mengganggu, rindu pada alam yang cantik molek itu.

Kabupaten Pesisir Selatan memang memiliki aksesoris lukisan pemandangan yang menawan. Bukit dan pegunungan nampak dikejauhan,  laut terbentang seperti permadani biru kehijuan dengan pulau-pulau kecil terserak di permukaannya, pantai yang bertabur pasir coklat keemasan , pesonanya sungguh memikat hati.

Pada kunjungan sebelumnya Tim Pulau Api, sebuah komunitas yang terbentuk dari pertemanan di dunia maya yang kemudian menjelma bak saudara  yang sama-sama memiliki ketertarikan pada pariwisata Sumatera Barat ini sudah mengunjungi beberapa lokasi wisata di Pesisir Selatan, antara lain Jembatan Akar, Air terjun Bayang sani,  kawasan Wisata Mandeh, maka dikunjungan kali ini perjalanan wisata akan menyusuri pantai-pantai indah, mulai dari Pantai Carocok Painan.

Karena Bukit Langkisau berada tidak jauh dari pantai Carocok maka kami memutuskan untuk kembali menikmati keindahan alam dari bukit yang menjadi tempat para penyuka olah raga paralayang, tempat bagi para glider bersiap untuk memulai terbang.

Bukit Langkisau


Pantai Salido dari Puncak Langkisau


Tujuan jalan-jalan wisata kali ini adalah Puncak Langkisau yang jaraknya sekitar 4 km dari  
Painan, ibu kota Kabupaten Pesisir Selatan.

Berangkat dari kota Padang yang berjarak sekitar 77 km dari Painan pagi hari sampai di Lokasi matahari telah tinggi. Jika dilihat dari jarak yang membentang antara Padang dan Painan sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu yang tidak terlalu lama, namun karena ini merupakan perjalanan wisata maka kami tidak perlu terburu-buru seperti dikejar waktu. 

Perjalanan ini memang dirancang sebagai perjalanan tamasya untuk memandang keindahan alam oleh karena itu setiap kali menemukan satu lokasi yang menyediakan hamparan pemandangan yang indah, maka dengan segera kami akan meminta Bang Wan untuk menepikan mobil ke pinggir, berhenti untuk sejenak memuaskan mata dan rasa. Perjalanan dilanjutkan bila masing-masing anggota merasa puas setelah mendapatkan gambar yang menarik yang akan digunakan untuk melengkapi cerita perjalanan wisata.

Perjalanan dari kota Painan ke Bukit Langkisau hanya menghabiskan waktu tidak lebih dari setengah jam. Jalan menuju puncak Langkisau mendaki dan berkelok-kelok, di sisi kiri kanan jalan ditutupi warna hijau dari rimbunan pepohonan, kadang-kadang disela-selanya kita bisa menyaksikan panorama yang begitu indah.

Mobil terus mendaki sampai ke batas akhir, tempat parkir. Ketika Bang Wan sibuk memarkirkan mobil, anggota rombongan berhamburan keluar, merentangkan badan menghilangkan lelah selama perjalanan. Udara dihirup dalam-dalam, segaaaarrr.

Untuk mencapai puncak  Langkisau kita masih harus berjalan kaki mendaki, menapaki anak tangga lalu sampailah kita di tempat dimana mata bisa memandang bebas ke seluruh arah, panorama yang pesonanya sungguh sempurna.

Pulau Keong di kejauhan

Di puncak Langkisau kami terpukau. Pandangan terpaut pada laut. Samudera Hindia membiru tenang, dikejauhan tampak Pulau karang yang bentuknya menyerupai Siput. Ada bagian yang menyerupai  kepala yang menjulur keluar cangkang lengkap dengan dua antenanya. Kami menamakannya pulau Keong.

kami menamakannya Pulau Keong

Pulau ini terletak di Taluak Sungai Bungin, masyarakat sana menyebutnya pulau karang karena strukturnya memang terdiri dari bebatuan karang. Pulau keong kami ini juga dikenal dengan sebutan Pulau Batu Nago.








Senin, 19 November 2012

Sawahlunto : #2. Lubang Tambang Mbah Soero




Perjalanan kali ini dalam rangka menggenapi janji yang pernah diucap di penghujung tahun lalu, bahwa suatu saat aku akan kembali ke Sawahlunto, kota yang letaknya lebih kurang 95 km dari ibukota Provinsi Sumatera Barat. Daerah yang terletak di dataran tinggi itu menyimpan banyak tempat yang bisa diketengahkan untuk menarik minat para wisatawan untuk mengunjunginya, cerita sejarah maupun keindahan alamnya adalah sumber daya wisata yang pantas untuk dijual.

Nama Sawahlunto yang menurut asal-usul yang diturunkan secara lisan, berasal dari kata sawah dan lunto. Lunto juga adalah nama sungai yang biasa disebut sebagai Batang Lunto yang menjadi sumber pengairan bagi sawah di kawasan tersebut, anak sungai yang berhulu di lembah bukit Nagari Lumindai dan mengalir menuju Nagari Lunto. 

Cerita lain mengenai asal kata Lunto diturturkan dalam legenda tentang sebuah pohon besar yang berbunga dan selalu menarik perhatian orang yang melewatinya, namun tak seorangpun yang tahu apa nama pohon besar yang senantiasa berbunga itu, sehingga setiapkali ada yang bertanya, penduduk setempat selalu menjawab “alun tau” yang dilafalkan secara cepat dan singkat, sehingga lama-kelamaan terdengar seperti luntau =lunto.
Alun tau dalam bahasa Indonesia berarti belum tau.

Sejak itu (saat yang tidak dapat dipastikan tepatnya) melekat lah nama Sawahlunto untuk daerah yang topografisnya berbukit dan berlembah itu, namun nama Sawahlunto secara resmi mulai tercantum pada tahun 1892 ketika Regeering Almanak van Nederlandsch-Indie diterbitkan, yang menandakan bahwa mulai tahun itulah nama Sawahlunto masuk dalam peta geo-politik pemerintah Hindia Belanda.

Semula Sawahlunto merupakan desa kecil yang pada awalnya tidak menjadi perhatian pemerintah kolonial Belanda karena dipandang tidak memiliki nilai ekonomis, tanahnya tidak subur dan tidak dapat dikembangkan menjadi lahan perkebunan, apalagi secara geografis letaknya juga terpencil, berada di tengah-tengah hutan yang luas, tetapi setelah ditemukannya kandungan batubara pada tahun 1868 oleh seorang geolog Belanda yang bernama Ir Willem Hendrik van de Greve, maka seketika tempat yang tadinya tidak menarik berubah menjadi tempat yang begitu banyak dilirik, apalagi pada masa tersebut industri-industri yang menggunakan mesin uap membutuhkan bahan bakar batubara. 
Sumber daya alam inilah yang ditemukan pemerintah kolonial Belanda disana, dan salah satunya ada di sekitar Sungai Ombilin, nama yang kemudian diabadikan sebagai nama perusahaan.

Sejarah penambangan di kota yang sekarang ini dikenal dengan sebutan Kota Tambang tua dan menjadi salah satu obyek wisata sejarah dapat kita telusuri melalui beberapa peninggalannya yang terkait dengan kegiatan penambangan masa lalu, ada Lubang Tambang Mbah Soero, Goedang Ransoem dan Museum Kereta Api.

Lubang Tambang Mbah Soero



Lubang Tambang Mbah Soero, adalah terowongan yang pada zaman dahulunya digunakan dalam kegiatan penambangan untuk mendapatkan batubara yang pada masa itu merupakan salah satu material yang digunakan sebagai bahan bakar untuk mesin-mesin uap.

Untuk keperluan pariwisata maka pemerintah setempat telah merenovasi lokasi ini  menjadi tempat yang layak dikunjungi baik dari segi keamanan maupun kemudahan mencapai area dibawah tanah dengan membangun anak-anak tangga, tentu saja dengan mempertahankan segala  keasliannya.

Setiap harinya pak Win yang bertugas sebagai pemandu wisata akan memastikan bahwa lubang aman dikunjungi dengan memastikan bahwa tidak ada kandungan gas metan, sistem ventilasinya baik, penerangannya cukup, sehingga pengunjung akan tetap merasa aman dan nyaman di lorong sepanjang 185 meter itu.

Sebelum memasuki area terowongan , terlebih dulu harus membayar tiket masuk yang cukup murah, Rp 8.000/orang di Info Box-Galeri Tambang yang menyuguhkan bermacam foto-foto kegiatan penambangan dan juga memamerkan bermacam ukuran rantai yang dikenakan oleh para pekerja tambang yang sebagian besar adalah para tahanan yang didatangkan dari berbagai tempat di luar pulau Sumatera dan disebut sebagai orang rantai.


Info Box,Tempat yang saat ini digunakan sebagai pusat informasi sejarah tambang batubara Sawahlunto  dulunya merupakan tempat penumpukan hasil batubara (Stock field) hasil penambangan yang dibawa keluar melalui Lubang tambang Mbah Soero.
Info Box-Galeri tambang dan Lubang tambang mbah Soero terletak di di Jl Muhammad Yazid, Lembah Segar, Kota Sawahlunto.

Pada saat kami datang, Lubang Tambang Mbah Soero dalam keadaan terkunci dan tidak ada pengunjung yang datang, entah memang karena pada hari itu lokasi yang berfungsi seperti museum alam itu tutup seperti museum lainnya yang tidak beroperasi pada hari Senin atau memang sedang sepi, tetapi karena kemurahan hati Uni Nona yang bertugas di Info Box, kami dapat masuk.

“Kalau ibu mau masuk, saya bisa panggilkan guide untuk memandu ibu”

Aku menjawab ragu-ragu, membayangkan harus turun  ke lokasi yang lebarnya  cuma sekitar satu meter itu aku tidak terlalu antusias, namun anggota rombongan yang lain bersikeras.

“Ayo Bun!” 

serempak mereka memberi semangat dan mematahkan setiap alasan yang aku kemukakan, dari mulai merasa tidak akan mampu kalau nanti harus melalui jalan yang mendaki lagi sampai alasan penyakit asma yang sedang kambuh ditandai dengan batuk-batuk , tetap saja tak membuat anggota rombongan berhenti membujuk. 
Mulanya aku putuskan untuk menunggu saja sementara yang lainnya turun, tapi ternyata Pak Win (Willizon) mampu membuat aku juga jadi merasa rugi kalau tidak turun, katanya:

“Sayang bu, jauh-jauh datang tak melihat lubang Tambang”. 

Akhirnya segala alasan yang dicari-caripun tumbang, aku tertantang


Sebelum turun, kami harus mengenakan Helm dan sepatu boot seperti layaknya pekerja tambang, kedua alat tersebut sudah disiapkan dan termasuk dalam harga yang Rp 8.000 itu.
Sesampainya di depan pintu gerbang yang tertutup, pak Win mengajak kami berdoa dulu sebelum masuk, entah mengapa suasana tiba-tiba terasa berubah auranya, beliau senantiasa mengingatkan supaya kami kembali pada niat awal, mengetahui sejarah dan kisah penambangan batubara.

“jangan neko-neko dan yang penting nawaitunya bu”

Sebagai pemandu yang akan menceritakan sejarah dan kisah lain seputar lubang tambang ini, beliau begitu bersemangat, meski di luar kami sudah berkenalan dengannya, begitu akan memasuki seolah-olah kami berhadapan dengan pak Win yang lain, suaranya tegas berat, seperti tengah memberi sambutan, suaranya mengejutkan dan mengalirkan suasana mencekam

“Sedikit dari saya, Sesuai dengan amanat dinas pariwisata kota Sawahlunto dst...dst...”

Setelah mendengarkan salam pembukaan, kamipun dibawanya turun. Ada tiga bagian yang terdiri dari beberapa anak tangga yang harus kami lalui untuk sampai pada tempat pertama kami berhenti sebelum melanjutkan perjalanan belok kanan.

Disini pak Win menjelaskan bahwa dihadapan kami ada bagian yang tertutup dan masih belum beranak tangga yang disebutnya level 2 dan belum dibuka untuk umum, dikisahkan oleh beliau yang pernah turun ke dalamnya, disana ada sebuah ruangan besar seperti aula.

Dan dikatakan bahwa ruangan itu ditutup bukan karena buntu, katanya lagi:  

“terowongan ini tidak berhenti disini bu, kalau dilanjutkan dia akan sampai di dekat rumah pak Wali. Bagian menjulang yang digunakan sebagai Menara mesjid sekarang ini (yang dekat museum kereta api), dulunya adalah cerobong asap”

Disebelah kiri juga ada bagian yang ditutup, tempat ini disebut sebagai ruang penumbalan, tempat pekerja tambang yang meninggal  entah oleh sebab sakit, keracunan gas methan ataupun menjadi korban pertikaian dikuburkan.
Sepanjang perjalanan menyusuri lubang yang atap dan dindingnya adalah batubara pak Win mengisahkan riwayat lubang yang semula disebut sebagai Lubang Soegar karena letaknya di kawasan Soegar dan merupakan lubang pertama yang dibuka pada tahun 1898 yang menyimpan kisah mengenaskan dari para pekerja paksa (orang rantai) yang berasal dari bermacam daerah di luar Sumatera Barat.

“Semua ini masih orisinil bu, besi tempat mengangtungkan kabel, bagian kayu, bata-bata, semuanya  masih asli kecuali saluran blower  dan bagian yang kita injak ini”

Hasil tambang di kawasan ini merupakan batubara yang berkualitas paling bagus karena itu tak henti-hentinya Pak Win menyuarakan kalimat:

 “kita kaya bu, kita kaya!”

Selama kami bersamanya, aku sebenarnya heran mengapa pak Win selalu berbicara padaku seolah-olah rombongan kami hanya terdiri dari beliau dan aku saja, sampai-sampai sempat terfikir olehku 

“apakah ada yang salah padaku?” dan ketika beliau bertanya 

“apa ibu ada sakit?”, keherenan itu semakin dalam, apalagi banyak kisah-kisah yang sedikit beroaroma seram diceritakan pula oleh beliau.

Katanya, pernah ada salah satu anggota rombongan yang pernah berkunjung kesitu yang terus menangis sepanjang perjalanan dan ketika ditanyakan apa gerangan yang membuatnya kelihatan begitu tertekan, dijawab bahwa orang itu menangis karena melihat betapa beratnya penderitaan para orang rantai yang dipekerjakan disana. Rupa-rupanya, dia bisa melihat “penampakan”

Kisah lain mewarnai dan menjadi cerita selingan yang disampaikan pak Willizon, seorang yang selama 20 tahun bekerja di PT BA dan mengambil pensiun dini pada tahun 2003. Beliau  berasal dari D Singkarak dan beristrikan orang Jawa-Minang dan tinggal tidak jauh dari lokasi lubang tambang Mbah Soero dan termasuk orang yang dituakan sehingga beliau ikut dalam proyek renovasi lubang ini yang dilaksanakan pada tanggal 26 Juni 2007 hingga akhir Desember 2007. 

Tempat ini kemudian difungsikan sebagai tempat wisata setelah diresmikan pada tanggal 23 April 2008. Pengerjaan pembuatan tangga, penerangan, ventilasi menghabiskan waktu lebih kurang 5 bulan dengan mempekerjakan 13 orang, karena jasa mereka lah maka kita dapat dengan santai menikmati segala cerita yang disampaikan pak Win. Puas mendengar berbagai cerita yang dikisahkan kami kembali melalui jalan yang berbeda, dengan menyusuri jalur ventilasi tibalah kami di pintu keluar yang terdapat diseberang jalan dari tempat kami masuk, artinya selama beberapa lama tadi kami semua berada bibawah jalan dan perumahan.

Lubang (goa) tambang yang dibangun pada zaman Belanda di tahun 1898 ini berfungsi hingga tahun 1930 yang kemudian ditutup dengan beton karena terjadi rembesan air sungai, menyimpan cerita perih mengenai nasib para orang rantai namun juga menjadi bukti bahwa alam kita memang kaya. Sepatutnya kita jaga.































































































aku dan pak Win