Kamis, 31 Januari 2013

Pulau Pisang Ketek

Jalan kaki menuju Pulau, bukan gurau...

"Bun, ntar kita ke Pulau Pisang ketek ya" ajak Pandeka begitu aku dan Ahlam tiba di Bandara Minangkabau.
"gak ah, kamu khan tau bundo takut naik sampan atau perahu nelayan"
"tenang bun, gak perlu naik perahu untuk sampai kesitu, kita jalan kaki santai dari pantai" katanya berusaha meyakinkan.
Sekalipun aku suka jalan-jalan yang sifatnya semi bertualang tapi banyak kegiatan yang membuatku takut sampai degdegan kencang, maklumlah aku ini penggamang. Namun anggota tim yang lain selalu gak mau meneruskan perjalanan kalau aku gak mau ikutan sehingga terpaksa aku kadang ikut juga.

Berjalan kaki menuju pulau memang merupakan kegiatan keren yang sayang untuk dilewatkan. Saat air surut kita bisa berjalan di laut.

Pulau Pisang Ketek berada di kawasan wisata pantai Aie Manih Padang, satu lokasi dengan Batu Malin Kundang, jadi sebelum ke pulau kita bisa melihat batu bersujud yang terkenal melalui cerita rakyat Minang, Malin Kundang. ceritanya tetap hidup sampai saat ini. Kisah seorang anak yang dikutuk jadi batu karena durhaka pada ibu. Kutukan jadi batu sekaligus juga membatukan kapal besar yang membawanya pulang dengan berlayar.

Pantai Aie Manih terletak disebelah selatan kota Padang kira-kira berjarak sekitar 10 km dari pusat kota. Meski jarak tak jauh namun waktu tempuh bisa mencapai 20 menit karena harus melalui jalan berliku, naik dan turun bukit pasal kawasan ini letaknya dibalik Gunung Padang.
Pantainya cukup luas, dengan hamparan pasir berwarna coklat emas, airnya bening, ombaknya tenang. Kalau tak ingin bermain air dan berenang di pantai, ada pondok-pondok yang bisa jadi tempat kita berteduh dari sengatan matahari saat menunggu.

Pulau Pisang ketek (Pisang kecil), salah sebuah pulau kecil diantara 19 pulau-pulau kecil lainnya yang termasuk dalam wilayah kota Padang ini berjarak tak jauh dari pantai, sehingga untuk bisa dicapai dengan berjalan kakipun tak akan terlalu menyebabkan lelah lunglai. Dari tepi pantai kita masih bisa menatap dengan jelas orang yang berjalan menyeberang mencapai pulau yang banyak ditumbuhi tanaman kelapa.

Agar bisa berpuas-puas menikmati keindahan laut lepas dari pulau ini, sebaiknya berangkat jangan terlalu sore, pada saat siang biasanya air laut surut dan ketinggian air tidak sampai selutut. Kalau yang sengaja ingin menikmati sunset gak perlu merasa takut gak bisa balik karena air pasang sebab ada perahu yang bisa membawa kembali ke pantai.


















Selasa, 29 Januari 2013

Nagari Maek nan mamikek...

Maek, Nagari Seribu Menhir.

Nagari Maek di Payakumbuah menjadi salah satu tujuan wisata yang menempati daftar teratas dalam agenda perjalanan wisata tim Pulau Api kali ini, oleh karena itu Lembah Harau dan Ngalau di Kabupaten Limopuluah Koto pun ada pada urutan sesudahnya untuk dikunjungi.
Ketertarikan untuk mengunjungi tempat tersebut disebabkan rasa penasaran ingin melihat Menhir, suatu peninggalan pra sejarah di zaman neolitikum, masa 6000/4000 SM - 2000 SM.
Batu tunggal (monolith) yang berdiri tegak diatas tanah itu menunjukkan adanya kehidupan manusia purba di ranah Minang. Hal inilah yang menjadi akar rasa penasaran, sebab menurut Tambo Minang nenek moyang masyarakat Minang dikatakan bermula dari lereng Gunung Marapi.

Nagari Maek, sebuah nagari yang terdapat di Kecamatan Bukit Barisan jaraknya kira-kira hanya 42 km dari pusat kota Payakumbuh, namun untuk mencapai lokasi tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, mengingat jalan menuju daerah yang terdapat di sebuah lembah ini harus melalui jalan berliku, mendaki dan menuruni bukit, medan yang cukup sulit. Meski sebagian jalannya sudah beraspal mulus, tetapi masih ada kondisi jalan yang rusak parah, sehingga supir harus beberapa kali turun untuk memastikan bahwa mobil dapat melintasi jalan dengan aman.

Perjalanan yang mebutuhkan waktu yang cukup lama tersebut sama sekali tidak mampu melahirkan rasa bosan, pasal pemandangan yang menakjubkan terhampar di sepanjang perjalanan. Alam yang asri diselingkar perbukitan sungguh menawan, cahaya matahari yang jatuh pada salah satu sisi bukit-bukit kecil membuat bukit seolah hijau menyala dan bukit yang lebih tinggi berwarna keabu-abuan nampak dari kejauhan.


Meskipun nagari yang menyimpan bukti kehidupan pra sejarah ini merupakan salah satu obyek wisata yang juga menjadi tujuan para peneliti yang ingin mengungkapkan adanya kehidupan purba disini, namun ternyata untuk menemukannya tidaklah mudah, sebentar-sebentar kami harus berhenti untuk menanyakan lokasi tujuan, tidak ada penunjuk arah yang terpampang sebagai pemandu perjalanan ke Nagari yang disebut sebagai nagari tertua, sungguh sayang memang.

Meskipun Nagari yang dipagari bukit dan berada di lembah namun kondisi yang demikian tidak membuat masyarakat yang berjumlah lebih kurang 12.000 jiwa di lokasi tersebut terisolasi dari perkembangan, kehidupan disana tampak maju, pekerjaan rata-rata penduduk adalah berladang dan beternak sapi.

Situs Megalith

Kompleks yang menyimpan berpuluh batu tegak yang pertama kami datangi adalah Cagar Budaya Megalit Balai Batu. Di kompleks ini terdapat tidak kurang 60-70 batu menhir yang tegak berdiri dan kesemuanya menghadap ke bukit Bungsu.

Meskipun saat itu sedang gerimis, kami tetap berlarian ke halaman yang cukup luas untuk mengagumi dan mengambil gambar sebagai dokumentasi Tim Pulau Api yang mempunyai kegiatan berwisata di ranah Minangkabau, sebuah kegiatan pribadi yang dilakukan sebagai bentuk partisipasi dalam rangka mengembangkan potensi wisata di Sumatera Barat. Meskipun kecil sumbangsih yang diberikan tapi kami yakin sekecil apapun peran serta yang dilakukan tetap akan menghasilkan manfaat, setidaknya tulisan ini bisa jadi tambahan informasi dan bermuatan promosi.

Setelah puas mengagumi dan mengambil gambar, kami sempat bertemu dan berbincang dengan seorang petugas dari BP3, dari beliau kami mendapatkan informasi bahwa Menhir-menhir tersebut merupakan pertanda kubur, merupakan batu nisan.

Dari Cagar Budaya Megalit Balai Batu perjalanan memburu menhir dilanjutkan, hingga sampai di situs dimana pada tempat tersebut tersebar hampir 370 monolith.
Bagai menemukan sesuatu yang sangat berharga, kami lantas berhamburan ke dalam area yang mungkin saja merupakan lokasi perkuburan purba dan tentu saja terlebih dulu kami mengucapkan salam "Assalamualaikum Nyiak" begitu bunyi salam yang kami ucapkan. Selepas itu masing masing anggota memulai kesibukan sendiri-sendiri, mengambil foto-foto batu dari berbagai sisi, setiap kali ada yang menarik perhatian kami akan saling memberitahukan. Meski bukan ahli, sikap kami seperti layaknya peneliti yang mengerti, tertarik memperhatikan setiap detail yang ada di batu monolith di situs cagar budaya Menhir Bawah Parit.

Di Padang luas yang menjadi kompleks situs megalit Menhir bawah Parit tersebar berbagai bentuk dan jenis batu, semuanya menghadap ke arah Gunung Sago. Menhir yang terdapat disini lebih bervariasi ukurannya. Kalau dilihat dari warna (seperti ahli saja) kami menyimpulkan materialnya juga berbeda, ada yang seperti kumpulan batu karang




































Rumah Tua dan Batang Kelapa

Dalam perjalanan wisata ke Pantai Gondoriah Pariaman yang kami lakukan tahun lalu, ada satu pemandangan menarik tentang sebatang pohon kelapa unik yang belum sempat kami tulis. Entah karena terlupa karena begitu pulang jalan-jalan aku langsung disibukkan urusan kerjaan, atau minat nulis lagi menemu jalan buntu, entahlah. Padahal perjalanan wisata ke ranah Minang adalah kegiatan rutin yang aku lakukan bersama Tim Pulau Api, sebuah komunitas kecil yang punya keinginan besar untuk ikut berperan dalam mengembangkan kepariwisataan tanah tempat kedua orang tuaku berasal.
Biasanya setiap pulang dari kegiatan berwisata, pengalaman menyenangkan itu akan segera dapat dibagi lewat tulisan dan foto-foto dengan harapan akan ada orang yang terpikat, penasaran dan lalu berhasrat untuk juga berkunjung ke tempat yang kami ceritakan. Lewat cerita dan gambar itu lah Tim Pulau Api ingin mengambil peran dalam mempromosikan tempat dan obyek wisata yang ada di ranah Minang.

Setelah sekian lama cerita mendekam dalam ingatan, tiba-tiba saja keinginan untuk berbagi pengalaman menyenangkan ketika jalan-jalan ke Pantai-pantai di Pariaman muncul lagi ketika melihat foto-foto yang menyimpan kenangan, terutama tentang sebatang pohon kelapa unik yang terlihat tanpa sengaja. Pohon kelapa dengan batang yang mirip keris.
Begitu menarik perhatiannya pohon kelapa ini bagi kami, membuat supir yang mengantar kami terkejut karena teriakan serempak. "pak, berhenti pak kita balik arah!"
Meski tidak mengerti mengapa ia harus berhenti tiba-tiba dan berbalik arah, namun keinginan kami itu dituruti tanpa banyak tanya.

Segera setelah mobil berhenti, kami turun seperti tak sabar untuk mencapai lokasi dan mendatangi sebuah warung untuk mendapatkan cerita tentang batang kelapa ini.
Setelah memperkenalkan diri, kamipun mulai bertanya ini dan itu. Mereka sepertinya cukup tercengang melihat ketertarikan kami yang demikian besar sehingga dengan bersemangat mereka pun menceritakannya dengan senang hati. (sayang aku lupa nama-nama mereka).

Mereka mulai bercerita tentang pohon kelapa yang sudah ada sejak lama, sejak mereka masih kecil. Menurut cerita yang mereka dengar, pohon kelapa ini merupakan pohon kelapa hijau yang air buahnya bisa untuk mengobati berbagai macam penyakit, satu-satunya pohon kelapa hijau diantara sekian banyak pohon kelapa yang tumbuh disana. Boleh percaya boleh tidak, menurut cerita yang aku dengar pelepah keringnya tidak pernah jatuh disekitar pohon, tetapi kepantai yang berada jauh dari tempat pohon tumbuh.
Cerita lain, konon kisahnya untuk memetik buah kelapa ini tidak dapat dilakukan beruk, harus orang yang memanjat dan buah tidak boleh dilemparkan ke tanah, jadi untuk membawanya turun terpaksa harus menggunakan gigi yang menggigit bagian ranting tempat buah menggelayut, ini bisa dipahami karena kedua tangan digunakan untuk memeluk batang pohon.

Pohon kelapa ini menjulang lebih tinggi dari pohon kelapa lainnya, tumbuhnya agak jauh dari pinggir jalan. Ketika aku mengutarakan niat untuk melihatnya lebih dekat, mereka mempersilahkan walaupun mereka sendiri bilang tidak berani karena menganggap pohon ini keramat karena tumbuhnya di kuburan, tepat di bagian nisan. Ehm aku agak ragu sebenarnya dengan niat semula, tapi penasaran juga. Akhirnya rasa penasaran yang menang, aku berjalan ke dalam.