Kamis, 21 Maret 2013

Rumah Gadang Minangkabau


Rumah Gadang Minangkabau

PDIKM by Deri Ilham (Pandeka Minang)

Beragam adat dan kebudayaan Minangkabau merupakan asset yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaanya. Salah satu asset budaya Minangkabau adalah Rumah Gadang, rumah adat yang bukan saja digunakan sebagai tempat tinggal tetapi  sekaligus berfungsi sebagai tempat pelaksanaan adat dan tempat berkumpulnya para pemimpin kaum dalam melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat..

Rumah Gadang yang dibangun atas dasar kesepakatan  anggota kaum dan dengan persetujuan Panghulu Nagari ini mengandung nilai-nilai filosofis dalam seni dan arsitekturnya.
Secara keseluruhan bangunan ini mencerminkan dan melambangkan semangat kebersamaan dan sekaligus menjadi bukti nyata kemampuan adat dalam mempersatukan berbagai kepentingan dan kebutuhan anggota kaum dalam membangun kehidupan yang harmonis, adil dan sejahtera.

Sejarah Minangkabau menurut Tambo

Menelusuri asal-usul sejarah Minangkabau memang agak sulit mengingat sampai sebelum masuknya agama Islam, sistem pencatatan sejarah hampir tidak dikenal di Minangkabau, namun demikian itu bukan berarti bahwa orang Minang sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap asal muasal mereka.
Masyarakat Minang mempunyai cara tersendiri untuk mewariskan dan meninggalkan jejak sejarah mereka, memang bukan melalui budaya tulis menulis yang banyak ditinggalkan melalui prasasti  seperti halnya yang kita jumpai pada peninggalan  zaman kerajaan Hindu- Budha di Pulau Jawa. 

Cerita sejarah masa lalu Alam Minangkabau disampaikan melalui Tambo dalam bentuk cerita yang disampaikan secara lisan yang dalam perjalanan selanjutnya Tambo juga mulai dituliskan dengan menggunakan huruf Arab.
Tambo berisi sejarah pembentukan alam Minangkabau, menguraikan mengenai batas-batasnya dan juga memuat tentang adat, aturan-aturan dan hukum kemasyarakatan.

Meski ada beberbagai versi Tambo yang satu dengan lainnya saling menguatkan, selalu ada kesamaan yang kemudian menjadi ciri khas yang dapat dijumpai pada semua Tambo yang ada, yaitu kisah terbentuknya selalu dimulai dengan cerita mengenai  proses pembentukan alam Minangkabau, dan bermula sejak penciptaan manusia pertama, dimana kisah selanjutnya sampai pada cerita zaman Iskandar Zulkarnain pemilik mahkota dari surga yang dibawa oleh nabi Adam.

Iskandar Zulkarnain  memiliki 3 orang putra, Yaitu Maharaja Alif (saudara laki-laki tertua ,Sultan dari Rum,Key Dummul Alum), Maharaja Depang (saudara tengah, Maharaja Dempang,Sultan dari Cina, Nour Alum),dan Maharaja Diraja (Saudara termuda, Sultan Dari Minangkabau, Aour Alum).

Setelah kematian ayahandanya, ketiga putra Iskandar Zulkarnain pergi berlayar ke timur dan dalam perjalanan ketiga putra itu berselisih mengenai kepada siapa Mahkota akan diturunkan yang pada akhirnya membuat mereka memutuskan berpisah.

Putra tertua Maharaja Alif meneruskan perjalanan ke Rum, Maharaja Depang pergi ke Cina dan Putra termuda melanjutkan perjalanan ke Pulau Perca, Andalas dan tiba di puncak tertinggi Gunuang Marapi.
Disanalah tempat mukim pertama Sultan (Sri) Maharaja Diraja yang oleh masyarakat Minang sampai saat ini diakui sebagai nenek moyang orang Minangkabau.
Asal-usul adat dan masyarakat Minang ini tergambar dalam gurindam yang masih sering kita dengar, yang bunyi sebagai berikut :

Dari mano dating palito
Dari Telong an batali
Cahayony tarag bamego-mego
Mambayang sampai ka subarang.

Dari mano asa niniek kito
Dari Puncak Gunuang marapi
Urun ka lagundi Nan Baselo
Di Pariangan Padang Panjang.

Dipatah rantieng Sikakau
Dipatah dipasilangkan
Takambang adaik di Minangkabau
Batumpak di Pariangan

Disitulah adaik nan bagantuang
Gantang bareh puluik jo padi
Disitulah adaik bakambang
Bakambang nan indak kuncuik lai.

Dalam tambo alam Minangkabau diriwayatkan bahwa Sri Maharaja Diraja datang dari Tanah Ruum ke Pulau Andalas. Mereka dikabarkan berlayar  dengan menggunakan perahu dari kayu jati. Dalam pelayarannya Rombongan Sri Maharaja Diraja melihat gosong yang tersembul dari dalam laut yang ternyata adalah puncak gunung.

Alkisah berlabuhlah rombongan Sri maharaja yang beranggotakan beberapa orang dari kasta Cateri di Puncak Gunuang Marapi dan kemudian membangun kehidupan disana bersama rombongan yang menyertainya. Datang bersama orang-orang itu beberapa orang perempuan yang kita kenal dengan sebutan Harimau Campo, Kucing Hitam, Kambing Hutan dan Anjing Muk Alam.

Cerita kehidupan awal masyarakat Minang berasal dari kisah ini. Kisah yang sering kita dengarkan lewat pantun dan dipercaya oleh masyarakat Minang turun temurun, yang bunyinya dalam Bahasa Indonesia seperti dibawah ini :

Dari mana mulanya terbit pelita
Dibalik tanglung nan berapi
Dimanakah mulanya ninik kita
Ialah di puncak gunung Marapi.

Lama berselang Sri Maharaja berserta rombongannya berdiam di puncak gunung Marapi, Allah mengabulkan doa yang sering dipanjatkan Sri Maharaja agar air laut disusutkan. Air lautpun Susut, dataran menjadi semakin bertambah luas, maka berpindahlah rombongan itu ke lereng Gunung Marapi. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Labuhan si Timbago.

Konon kisahnya ditempat inilah pertamakali dibangun sumur sebagai tempat sumber air yang dipergunakan untuk minum dan mandi. Untuk memenuhi kebutuhan mereka akan makanan maka mereka membuka sepetak sawah yang disebut dengan sawah satampang baniah. Menurut cerita orang-orang tua dulu yang kemudian diteruskan kepada keturunan-keturunan berikutnya Sawah satampang baniah itu sudah mencukupi kebutuhan hidup mereka, dan dipercaya merupakan asal-usul padi yang ada sekarang.

Pada kisah lain dinyatakan bahwa Maharaja Diraja turun dari Puncak Merapi setelah air laut surut dan memulai kehidupan baru di Nagari pertama Pariangan Padangpanjang, nagari yang disebut –sebut sebagai ibukota Minangkabau di zaman Purba. Sultan Sri Maharajo Dirajo, kemudian mendirikan kerajaan yang dikisahkan sebagai kerajaan Minangkabau  pertama di Kota Baru.

Keturunan Maharaja Diraja, Datuk Katumanggungan  (St Paduko Basa) dan Datuk Perpatih nan Sabatang (Jatang sutan Balun), dua bersaudara berlainan ayah kemudian diangkat menjadi penghulu ketika mereka sudah dewasa dan mewarisi kerajaan ayahnya.
Pada masa mereka didirikan Kerajaan Dusun Tuo setelah berakhirnya  kerajaan Koto Baru.

Pada masa itu pula mulai ditetapkan berbagai aturan menyangkut budaya, sistem ketatanegaraan (kenagarian)  serta merancang 22 aturan induk yang dikenal sebagai Aturan Adat Minangkabau.
Dalam masa mereka pula wilayah Minangkabau dibagi ke dalam tiga Luhak yang dikenal dengan sebutan Luhak Nan Tigo, yaitu :
  1. Luhak Tanah Datar yang berpusat di Batusangkar,
  2. Luhak Agam yang berpusat di Bukittinggidan
  3. Luhak Limapuluh Kota dengan pusatnya di Payakumbuh
Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang menerapkan sistem pemerintahan adat yang berbeda sehingga sejak saat itu dalam etnis Minangkabau  dikenal  dua kelarasan yaitu Laras Koto Piliang (kata-kata pilihan) yang sistem pemerintahannya bersifat otokratis dan Laras Bodi-Caniago (budi yang terhormat) yang lebih demokratis.
Kedua kelarasan tersebut memberi pengaruh pula pada arsitektur dan bangunan rumah adat mereka.

Asal-usul kata Minangkabau

Kata Minangkabau yang sering digunakan sekarang dikaitkan dengan peristiwa adu kerbau dimana kerbau orang minang menang dalam pertarungan itu (menang kerbau).

Dalam legenda masa lalu dikisahkan bahwa pada zaman dahulu, diadakan adu kerbau sebagai bentuk perjanjian untuk menghindarkan serangan-serangan orang Jawa terhadap orang Minang. Kerbau yang digunakan oleh orang jawa pada adu kerbau tersebut adalah kerbau yang besar, sementara orang Minang saat itu mengalami kesulitan untuk mendapatkan kerbau yang seukuran kerbau orang Jawa, namun ini tidak menjadi kecemasan bagi orang Minang, karena kecerdikannya disiapkan anak kerbau yang masih menyusu dan dibiarkan kehausan dan pada tanduknya dipasangkan pisau-pisau yang tajam.

Manakala kedua kerbau yang berbeda ukuran ini berhadapan di dalam satu gelanggang, anak kerbau milik orang Minangkabau menganggap kerbau besar yang ada di depannya adalah induknya, maka kerbau kecil itupun berlari ke arah kerbau besar, hendak menyusu maksudnya, namun malang bagi kerbau besar, kerbau kecil yang menyurukkan kepalanya untuk menyusu membuat pisau yang ada di tanduknya melukai bagian perut kerbau besar dan mengakibatkan luka-luka yang berakhir pada kematian kerbau milik orang Jawa, yang menandakan kemenangan bagi kerbau kecil itu dan dengan demikian orang Minangkabau terselamatkan dari serangan orang Jawa.

Peristiwa kemenangan yang legendaris itu kemudian diabadikan pada bentuk atap rumah adat Minangkabau yang menyerupai tanduk kerbau.

Rumah Adat Minangkabau

Rumah adat yang berasitektur kayu, berpanggung dan memiliki atap yang menyerupai tanduk kerbau ini ditopang oleh sejumlah tiang dari kayu besi, atapnya menggunakan bahan ijuk yang berwarna hitam, namun sebenarnya  sejak dulu pun sudah ada rumah gadang yang atapnya terbuat dari seng seperti yang banyak kita jumpai sekarang.

Dinding bagian luar rumah tersusun dari kayu berukir dengan warna-warni yang cerah. Motif ukiran bermacam-macam, meskipun tidak mengandung makna khusus kecuali semata untuk keindahan, umumnya ukiran bermotifkan benda alam raya, biasanya ukiran-ukiran itu bermotif tumbuh-tumbuhan.

Ada dua tipe rumah gadang yang merujuk pada sistem adat dalam kelarasan yang ada, laras Koto Piliang dan Laras Bodi-Caniago yang berkaitan dengan kedua Datuk , Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan yang mendirikan kerajaan Dusun Tuo.

Perbedaan kedua rumah Gadang tersebut bisa dilihat dari bangunan lantainya dimana rumah gadang Lareh Bodi Caniago seluruh lantainya rata tidak ada bagian yang lebih tinggi seperti yang terlihat pada rumah gadang Lareh Koto Piliang yang memiliki anjung atau bagian yang menaik pada kedua ujung rumah.

Dalam naskah yang disusun oleh Nusjirwan A dan staf BPSK disebutkan ada tiga tipe rumah gadang.
  1. Rumah Gadang Gajah Maharam
  2. Rumah Gadang Rajo Babandiang
  3. Rumah Gadang Bapaserek
1.     RUMAH GADANG GAJAH MAHARAM
Disebut sebagai rumah gadang gajah maharam karena katanya rumah ini memiliki bentuk seperti gajah yang sedang mendekam (Maharam=mendekam). Rumah Gadang ini memiliki bagian yang lebih tinggi dari lantai rumah disebelah ujung kanan dan kiri dari pintu masuk. Bagian yang lebih tinggi tersebut dinamakan anjung, sehingga ada yang menyebut tipe rumah gadang ini dengan sebutan Rumah Baanjuang.
Rumah Baanjuang masih bisa kita temukan di Padang Panjang, miliki kaum Dt Tan Majolelo yang pernah menjadi peserta terbaik I pada lomba penataan perkarangan Rumah Gadang se Sumatera Barat yang diselenggarakan pada tahun 2009.
2.     RUMAH GADANG RAJO BABANDIANG
Rumah Gadang jenis ini tidak memiliki anjuang dan atapnya lebih tinggi dari Rumah Gadang tipe Gajah Maharam
3.     RUMAH GADANG BAPASEREK
Rumah gadang ini hanya memiliki satu anjuang di sebelah kiri dan bagian yang ditinggikan tersebut dinamakan Tingkah atau Tindieh
Rumah Gadang ini bisa ditemukan di Kenagarian Koto Nan Ampek Payakumbuh, bangunannya memiliki bagian yang diseret sehingga ada bagian yang menonjol di belakang atau disamping. Bagian belakang yang diseret digunakan sebagai kamar, sedangkan yang disamping digunakan sebagai dapur.

Bersambung: Arsitektur Rumah Gadang
Sumber:
  1. Adat Minangkabau. Pola Dan Tujuan Hidup Orang Minang, Amir M.S
  2. Adat Minangkabau Dan Merantau Dalam Perspektif Sejarah, Tsuyoshi Kato
  3. Mambangkik Batang Tarandam Dalam Upaya Mewariskan Dan Melestarikan Adat Minagkabau,  H Julius Dt Malako Nan Putiah
  4. Ensiklopedia Sejarah Dan Budaya
  5. Pustaka Budaya Dan Arsitektur Minangkabau, Myrtha Soeroto
  6. Sejarah Sumatera, William Marsden
  7. Sengketa Tiada Putus, Jeffrey Hadler
  8. Tambo Alam Minangkabau, Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang, Ibrahim Dt Sanggoeno Diradjo
  9. Tambo Minangkabau. Budaya Dan Hukum Adat Di Minangkabau, Ir Edison Magindo Sutan,Sh,M.Kn  Dan Nasrun Dt Marajo Sungut











Selasa, 19 Maret 2013

Rumah Gadang "Siti Nurbaya", Koto Tuo, Kecamatan Koto Tangah


Kali ini tim Pulau Api melakukan perjalanan wisatanya di Padang dan sekitarnya. Tempat yang menjadi tujuan adalah Rumah Gadang di Lubuk Minturun. Tidak seperti biasanya kali ini anggota tim jalan-jalan tidak lengkap, perjalanan hanya menyertakan dua orang saja, aku dan Ekin Rang sikumbang. Masing-masing kami sama-sama berfungsi sebagai fotografer yang akan mengambil gambar dan sekaligus mencari informasi yang akan dirangkai dalam kisah perjalanan wisata.

Rumah Gadang Siti Nurbaya.

Rumah adat yang saat ini ditempati oleh taci Dahniar dikenal banyak orang dengan sebutan rumah gadang Siti nurbaya karena rumah ini pernah menjadi lokasi shooting Sinetron Siti Nurbaya beberapa tahun silam.

Rumah yang menurut Taci sudah berusia ratusan tahun masih terlihat kokoh dan terawat, meskipun disana-sini terlihat banyak kayu yang sudah berlubang dimakan rayap. Hampir sebagian besar bagian rumah ini masih asli dan renovasi hanya dilakukan pada bagian yang sudah rusak parah.

Rumah yang secara fisik memang besar (luas ) ini berlokasi di Kota Tuo Kecamatan Koto Tangah Kotamadya Padang, disimpang tidak jauh dari jalan By Pass. Keberadaannya tertutup oleh sebuah lapau yang berjarak tidak jauh dari rumah yang kami tuju. Disebelah lapau tersebut terdapat tanah kosong yang pas untuk kami memarkirkan mobil. Beberapa orang tampak sedang asyik duduk-duduk di lapau, tidak terganggu dengan kedatangan kami seolah sudah mengerti kemana tujuan kami setelah turun dari mobil.

Rumah adat yang disebut sebagai rumah gadang Siti Nurbaya ini agak berbeda dengan rumah gadang yang biasanya bergonjong, meski atapnya melengkung tetapi tidak ada bagian yang lancip seperti tanduk kerbau.

Rumah ini memiliki beranda, dan untuk mencapainya ada janjang yang  letaknya persis di tengah bagian depan rumah dengan anak-anak tangga di sisi kanan dan kiri. Bagian janjang juga dilindungi oleh atap yang pada rumah bagonjong biasanya disebut sebagai gonjong janjang. Atap yang manaungi bagian tangga ini berbentu segitiga.

Agak kontras dengan keseluruhan bangunan yang berkonstruksi kayu, bagian tangga ini terbuat dari batu dan memiliki empat pilar seperti rumah modern bergaya Eropa. Warnanya yang kuning gading tampak serasi dengan warna coklat kayu yang seolah menjadi latar belakangnya.

Masih di bagian halaman depan, dekat dengan tangga menuju rumah terdapat bangunan seperti kolam yang disebut sebagai kulah. Secara filosofi keberadaan kulah yang dulu berisi air yang dipergunakan untuk mencuci kaki sebelum masuk rumah adalah sebagai pelambang penyuci jiwa karena dari dalam rumah akhlak manusia mulai dibentuk, sehingga siapapun yang hendak memasuki rumah harus membersihkan kakinya yang melambangkan pembersihan diri. Saat ini kedua kolam itu sudah tidak berfungsi lagi, tidak berisi air.

Setelah melewati tangga kita akan sampai pada sebuah ruang terbuka. Kami diterima dengan ramah oleh Taci Dahniar di tempat ini, bersantai duduk sambil mendengarkan penuturan beliau tentang rumah gadang yang usianya sudah lebih dari seratus tahun. Ruang tempat kami diterima pertama kali dinamakan ruang Tapi, aku menyebutnya serambi.

Serambi adalah sebuah ruang terbuka seperti balkon yang dibatasi birai, pagar rendah yang memiliki corak hias sederhana. Lantainya terdiri dari papan yang sebagian masih orisinil. Terdapat Kursi dan meja serta bangku panjang yang ditempatkan disisi kanan dan kiri rumah, sebagai tempat orang rumah duduk menerima tamu. 

Dinding belakang yang menjadi batas ruang depan dengan ruang tengah ini juga masih asli, terbuat dari kayu yang sekarang sudah banyak berlubang termakan rayap. Ada tonggak yang berasal dari batang pohon, bentuknya tidak lurus, tetapi itu menambah kesan artistik yang unik.
Sambil bercerita, Taci mengizinkan kami masuk untuk melihat-lihat sampai kedalam.


“Masuaklah nak, silahkan lihat-lihat apa yang ingin dilihat” katanya.
“boleh kami ambil gambarnya Taci?” tanyaku yang sebenarnya merupakan permintaan izin. Permintaanku dikabulkan, kamipun masuk.

Antara serambi dan ruang tengah dihubungkan oleh pintu yang nampaknya merupakan pintu utama bagunan rumah.



Ruang tengah tidak terlampau luas, tetapi cukup untuk menampung banyak orang. Ruang ini menurut Taci dahulunya digunakan sebagai tempat kumpul dan bemusyawarah, sekarang nampak lengang hanya satu set kursi dan meja bundar kecil yang mengisi. 



Pada bagian lantai yang tepat berada didepan pintu yang akan membawa kita ke ruang dalam terlihat adanya bagian lantai yang memiliki celah memanjang dengan lebar celah yang tidak terlalu besar, mungkin selebar dua jari. Menurut Taci Dahniar, celah ini berfungsi tempat mengalirkan air ke tanah ketika memandikan jenasah anggota keluarga di atas rumah.
Sebagian lantai masih asli dan bagian-bagian yang rusak dan rapuh ditambal dengan tripleks.


Dari ruang tangah kami terus masuk lebih dalam, ke ruangan yang memiliki atap yang tinggi sehingga kesan luas begitu terasa. Ruang ini memiliki beberapa ruang yang masih digunakan sebagai bilik atau kamar.
Beberapa tonggak berdiri d tengah ruang.
Pada mulanya ruangan ini memiliki pagu, loteng tempat penyimpanan, tetapi sekarang sudah dibongkar sehingga ruangan yang tanpa plafon ini semakin kelihatan sangat luas.

Dibagian belakang ruang dalam yang terdiri dari beberapa bilik adalah dapur. Beberapa perabot rumah tergantung disitu.


Melihat keseluruhan arsitektur rumah ini agak sulit bagiku untuk menentukan tipe rumah gadang ini, sebab pengetahuanku tentang rumah gadang baru sebatas tipe rumah gadang dari lareh Bodi Caniago dan lareh Koto Piliang. 

Ada yang bilang ini merupakan rumah adat Rantau Pasisie karena memiliki serambi yang terbuka yang merupakan ciri khasnya. Rasanya ketidaktahuanku agak sedikit beralasan karena memang beberapa tipe rumah adat yang pernah ada dulu sekarang semakin lama semakin dilupakan orang dan tidak popular lagi, misalnya Rumah Adat Tipe “Tungku Nasi”, Rumah Adat “Kanjang Padati” dan Rumah Adat “Dangau Layag-layang”.

Mungkin dalam perjalanan wisata kali ini, Tim Pulau Api akan mencari bentuk-bentuk rumah ini.



















Selasa, 12 Maret 2013

Rumah Gadang Bundo Kanduang


 
Rumah Gadang Bundo Kanduang yang terdapat di Gudam Pagaruyuang ini seperti memanggil kami untuk singgah. Dua tahun lalu ketika Tim Pulau Api berwisata ke Tanah Datar, rumah ini tak sempat kami kunjungi. Kami terlalu asyik menikmati prasasti peninggalan sejarah yang berkaitan dengan Adityawarman  serta batu batikam yang menyimpan cerita tentang Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang.

Hal lain yang menyebabkan rumah ini luput kami liput adalah karena tidak banyak informasi yang kami dapat mengenai rumah gadang ini, sepertinya rumah ini tidak menjadi salah satu obyek wisata disana padahal tempatnya berseberangan dengan prasasti Adityawarman dan dekat dengan obyek wisata lainnya, memang tidak ada papan pemberitahuan yang menyebutkan rumah ini adalah situs cagar budaya.

Namun kali ini kami sengaja mendatanginya, ada semacam kekuatan yang menarik rasa rindu untuk berkunjung. Masih seperti duatahun lalu, rumah ini tetap terkunci seolah menyendiri. Halamannya luas namun bersih dan tertata rapi, terlihat sekali bahwa rumah ini sangat terurus meski tak sepeserpun mendapat bantuan dari pemerintah kabupaten. Pemilik rumah menjaga dan merawatnya sepenuh hati dengan kemampuan yang dimiliki.

Di halaman kiri depan tedapat papan yang bertuliskan “Rumah Gadang Bunda Kanduang, Batu Basurek Gudam Pagaruyung, Jl Sultan Alam Bagagarsyah No 155, Batusangkar”, dan dihalaman depan sebelah kanan terdapat batu besar yang sepertinya untuk tempat duduk bersandar, serupa seperti  yang  terdapat di Medan bapaneh, tempat bermusyawarah jaman dahulunya.

 
 
Meski pun pintu gerbang terkunci, hal tersebut tidak menyebabkan kami berpikir untuk membatalkan rencana yang i sudah terpatri  di hati, maka dengan suara lantang, aku menyuarakan salam “Assalamualaikum….”, dua kali salam aku ulang, keluarlah seorang wanita tua membawa kunci dan membuka pagar, segera aku salami tangannya seraya mencium punggung tangannya.
“lai sihaik Mak?”

Meskipun mungkin beliau bingung dalam hati, tetapi dijawabnya juga pertanyaanku sambil mempersilahkan kami menuju rumah gadang. Anak laki-lakinya kemudian membuka pintu rumah gadang dan menganjurkan kami untuk langsung naik ke rumah.
“Masuak lah Nak…” kata perempuan yang aku panggil dengan sebutan amak itu dengan ramah tanpa sedikitpun bertanya siapa kami sebenarnya.

Baru saja kami duduk, kami lantas disuguhi cerita tentang rumah gadang ini, beliau tentunya sudah mengira maksud kedatangan kami.
Rumah Gadang Bundo Kanduang  menurut cerita yang dikisahkan oleh anak laki-laki amak itu adalah tempat asal usul Raja Pagaruyuang.

“Kerajaan asli Pagaruyuang ya ini, disini…di Ranah Kampuang Dalam, Gudam Pagaruyuang”
Rumah Gadang ini hanya memiliki tiga ruang, tak lazim memang, karena biasanya rumah gadang memiliki Sembilan ruang. Namun keheranan kami segera terjawab oleh cerita yang dituturkan kemudian.

“daulu (dulu) rumah ini memiliki Sembilan ruang, tetapi rumah gadang pertama telah terbakar pada abad ke 14. Berikutnya dibangun lagi rumah gadang kedua yang konon kisahnya memiliki 13 ruang, tetapi rumah itupun terbakar pada tahun 1804. Kemudian pada tahun 1812 didirikan Rumah gadang Bundo kanduang”
“kok sekarang cuma tinggal 3 ruang pak?” tanyaku

Beliau menceritakan karena alasan finansial “ cuma seperti inilah yang mampu kami bangun lagi.”
Sambil mendengarkan cerita,  mata kami terus mengelilingi ruangan yang keseluruhannya didominasi warna kuning. Tiang-tiangnya masih asli dan juga dibungkus kain berwarna kuning, menurut amak hal tersebut  adalah permintaan moyang mereka yang disampaikan kepada anak perempuannya.

“anak nenek sering didatangi moyang kami dalam mimpinya” kata nenek yang telah berumur 81 tahun ini.

Tiga ruangan yang sekarang diisi dengan beberapa peninggalan-peninggalan lama yang jadi koleksi Rumah Gadang Bundo Kanduang ini lebih tinggi dari lantai rumah. Di ruang tengah terdapat tempat makan raja yang disebut dulang.  Diatas Dulang bersusun bermacam ukuran keris dibungkus kain kuning
 
“Dulang tampek makan raja ini cuma ada dua di dunia, satunya lagi ada di Tibet” jelas bapak yang terus asyik bercerita kepada kami. Dan  amak tersebut menamakannya Dulang Sati.

Cerita tentang raja Minangkabau dan Rumah Gadang Bundo Kanduang terus mengalir. Berkisahlah si bapak tentang silisilah Raja minangkabau dimulai dari Puti Jamilan yang disebutnya sebagai Bundo kanduang  yang makamnya terdapat di makam Ustano Rajo Alam. Bapak itu kemudian menunjukkan catatan kecilnya tentang silsilah tersebut.
 
Puti Jamilan memiliki anak yang bernama Puti Reno Suri. Makam Puti Reno Suri bisa dijumpai di Lunang.

Puti Renosari mempunyai anak laki-laki yang bernama Sultan Rumanduang bergelar Dang Tuanku, iapun dimakamkan di Lunang. Dang Tuanku beristri Puti Bungsu.
Puti Jamilan memiliki seorang kakak laki-laki bernama Sultan Machmud Alam Dunia, dan adik perempuannya bernama Puti Silinduang Bulan.
Puti Linduang Bulan mempunyai dua orang anak, yaitu Puti Intan Suri dan Sultan Alamsyah Pangulu Rajo.


Selain mendengar cerita tentang riwayat raja Minangkabau menurut versi orang Rumah Gadang Bundo Kanduang, kami juga diperlihatkan koleksi yang merupakan bukti sejarah Islam di ranah minang.  Sebuah Al-Qur’an tulisan tangan diperlihatkan kepada kami. Ditulis diatas kertas Pro Patria berhologram. Ada tulisan MAGT yang berarti power atau kekuasaan.
Keberadaan Al Qur’an ini diketahui  jauh sebelum Agama Islam masuk di ranah Minang.

Meskipun aku dan anggota tim Pulau api tidak mengerti secara persis mengenai sejarah Minangkabau, setidaknya cerita yang disampaikan oleh ahli waris pemilik Rumah Gadang Bundo Kanduang ini menambah khasanah pengetahuanku.
Cerita tentang tiga raja yang memimpin Minangkabau yang kami dengar di dalam Rumah Gadang bundo kanduang ini tidak berbeda dengan yang pernah kubaca mengenai Rajo Tigo Selo yang terdiri dari Raja Alam, Raja Ibadat dan raja Adat.
Raja Pagaruyung yang memimpin Minangkabau dikenal pula dengan sebutan Raja Alam. Dalam melaksanakan tugasnya raja Alam dibantu oleh Raja Adat yang mengurusi segala sesuatu yang berkaitan dengan adat,  Raja Ibadat memutuskan hal-hal yang bersangkutan dengan urusan  agama dan pendidikan sedangkan Raja Alam merupakan raja tertinggi yang memutuskan hal-hal  berhubungan dengan pemerintahan secara keseluruhan.

Ketiga raja tersebut memiliki daerah kedudukan masing-masing.  Raja alam di Pagaruyung, Raja Adat berkedudukan di Buo ( Lintau menurut si Bapak) dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus.
Cerita tentang ketiga raja tersebut kemudian dihubungkan dengan 3 Pohon beringin yang letaknya tidak jauh dari Rumah Bundo Kanduang.
Katanya: “ Pohon Beringin besar melambangkan Raja Alam, Beringin yang terdapat ditengah melambangkan Raja Adat dan pohon beringin berikutnya yang terdapat disebelah kiri melambangkan Raja Ibadat.”

Puas mendengar kisah Rumah Gadang dan cerita didalamnya kami melanjutkan mengambil beberapa gambar barang-barang peninggalan yang menjadi koleksi rumah ini.
Koleksi:
 
 
 
 

Tombak Giwang Teratai Putih