Senin, 07 Maret 2016

Batu Angkek-angkek, Sungayang, Kab Tanah Datar


(posting ulang)

Batu angkek-angkek, salah satu obyek wisata di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat yang terdapat di desa Balai Tabuh Kecamatan Sungayang memang mengundang rasa penasaran.
Terletak  di dalam rumah adat Minangkabau yang usianya sudah sekitar seabad, batu ini diperkirakan umurnya lebih dari 200 tahun. Dikisahkan oleh Alfi Putra, bahwa sudah sejak 7 generasi diatasnya menyimpan dan merawat batu ini, katanya “bayangkan saja, saya saja sekarang berumur 38 tahun, kalau setiap generasi rata-rata berusia minimal seumur saya, artinya usia batu ini sudah lebih dari 200 tahun khan?”

Obyek wisata ini memang sempat menghebohkan dan menimbulkan keberatan dari sebagian orang karena menganggap mengunjungi tempat ini dekat dengan perbuatan syirik dan bertentangan dengan ajaran agama. Tidaklah heran mengapa sampai ada orang yang berpikir demikian karena pada papan yang dipasang oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Tanah Datar di halaman depan rumah adat tersebut terdapat kalimat seperti ini : “...Sekarang batu ini dikenal dengan batu angkek-angkek, ramai dikunjungi oleh wisatawan. Untuk mengetahui pertanda niat seseorang tercapai atau tidaknya maka dapat dilihat terangkat atau tidaknya batu tersebut”.

Kalimat itu yang mungkin menyebabkan orang berpikir seolah mereka yang mengunjungi tempat ini datang untuk berdoa atau meminta pada batu yang terkesan mistis ini, apalagi memang ada informasi bahwa sebelum mengangkat batu dianjurkan untuk membaca bismillahirrahminarrahim, membaca shalawat 3 kali baru kemudian batu diangkat atau “dielo” (dihela).

Apa memang benar demikian? Itulah yang kami ingin ketahui.

Beruntung pada kunjungan tersebut kami bertemu dengan Alfi yang dapat bercerita tentang kisah batu ini yang menurutnya dikisahkan secara turun temurun dari generasi-generasi sebelumnya. Tanpa mengetahui maksud kami sebenarnya,  kehadiran kami di rumah itu disambut dengan hangat dan ramah. Pertemuan yang baru pertama kali itu serupa pertemuan keluarga saja, kami bercerita kesana-kemari dan akhirnya selalu kembali pada cerita batu.
Cerita tentang batu ini bermula ketika Dt Bandaro Kayo dari suku Piliang ingin membangun sebuah perkampungan dan mendirikan rumah adat di kampung yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Palangan.

Seperti lazimnya dalam batagak rumah, maka Tonggak Tuo, tiang utama akan dipancangkan terlebih dulu, namun pada saat itu tonggak menyentuh “sesuatu” di dalam tanah dan menimbulkan peristiwa dan kejadian-kejadian aneh yang menimbulkan rasa ketakutan. Dikisahkan pada saat tersebut dan selama 14 hari setelahnya terjadi gempa dan hujan panas. Situasi yang demikian membuat mereka yang merencanakan membangun perkampungan baru bermusyawarah dan memutuskan untuk membatalkan niat, namun saat kesepakatan tercapai bahwa rencana membangun rumah disitu dibatalkan tiba-tiba terdengar suara gaib yang kira-kira berbunyi “Ambillah saya...”.

Akhirnya pada tempat dimana tonggak tuo akan dipancangkan tanahpun digali dan ditemukan sebongkah batu terdiri dari dua keping seperti buah jengkol, dan hanya kepingan batu bagian atas saja yang diambil sedangkan bagian bawahnya seperti semakin menghujam kedalam bumi dan tidak dapat diangkat.Batu itu kemudian dinamakan Batu Pandapatan, dan rumah pun berhasil didirikan.

Entah bagaimana kisah awalnya, akhirnya batu ini kemudian bernama Batu Angkek-angkek dan berkembang cerita bahwa batu ini bisa dijadikan pertanda apakah niatan seseorang dapat terkabul atau tidak dengan cara mengangkat batu ini atau maelonya sampai ke atas paha. Jika batu dapat dipindahkan dari lantai ke paha, artinya orang tersebut berhasil mengangkat batu dan itu menandakan bahwa apa yang menjadi keinginan akan tercapai. Begitu issue yang berkembang dan ada sebagian orang yang mempercayainya.

Issue ini memang agak sensitif tetapi aku penasaran juga apa memang benar seperti itu, apakah benar untuk mengangkatnya kita harus lebih dulu sujud? Penasaran ini harus terjawab  jadi harus aku tanyakan dan kami minta ditunjukkan bagaimana cara mengangkat batu tersebut.
Sambil cerita Alfi kemudian memperagakan bagaimana cara maelo batu tersebut. Batu dinyatakan dapat terangkat apabila batu bisa diletakkan di atas paha, jadi saat mengangkatnya memang kita dalam posisi duduk, bersimpuh ataupun bersila dengan salah satu kaki kebelakang. Mengangkat batu ini rupanya tidak seperti yang aku bayangkan.

“Posisi duduk boleh diatur seenak dan senyaman mungkin” katanya, dan memang tidak ada aturan khusus. Kemudian kedua lengan memeluk batu dari bagian bawah, untuk bisa seperti itu kita tentu harus menurunkan badan, agak membungkuk dengan kedua lengan bertumpu pada lantai,sehingga sekilas memang seperti gerakan orang bersujud dan karena batu terletak di bagian depan, dikatakan pula bahwa itu adalah gerakan bersujud pada batu, padahal sama sekali tidak ada sedikitpun gerakan sujud yang dimaksud itu.
Setelah batu terpegang baru kemudian diangkat, tapi kalau tidak kuat langsung mengangkatnya batu boleh digeser sedikit demi sedikit lalu diangkat ke atas paha.

Mengenai membaca bismillah dan shalawat sebetulnya hal itu biasa saja, untuk melakukan kerja apapun kita memang sebaiknya mendahulukan dengan menyebut nama Allah, tetapi ketika akan mengangkat batu ini, sesungguhnya itu tidak ditujukan kepada batu. Kalaupun ada yang kemudian mengucapkan doa dalam hati, itupun bukan meminta pada batu untuk ditunjukkan apakah doa yang dipanjatkan akan terkabul, seperti yang dikatakan Uda Alfi ini : “Orang yang datang kesini khan orang yang pinter-pinter, mana mau mereka disuruh meminta ke batu, agama manapun gak ada yang mengajarkan begitu”

Alfi pun mengatakan bahwa dia sendiri tidak dapat menjelaskan mengapa tidak semua orang dapat mengangkat batu ini dengan mudah, bahwa sensasi berat yang dirasakan setiap orang berbeda itu semata hanya karena kekuasaan Allah dan itu tidak ada kaitannya dengan akan dikabulkan atau tidaknya doa yang dipanjatkan.

Setelah puas mendengar cerita dan penjelasannya, maka kamipun satu persatu mulai mencoba maelo batu Angkek-angkek itu, aku bahkan sama sekali tidak sempat berfikir untuk berdoa disitu, yang segera ingin kuketahui seberapa berat batu yang ukurannya sebesar batu tempat menggiling lado (cobek) itu. Meski tidak mampu melakukannya sambil  duduk bersimpuh seperti yang dicontohkan, batu itu bisa juga berpindah ke atas paha dengan cara menariknya sedikit demi sedikit.

Seperti cerita yang kami dengar sebelumnya, betul bahwa setiap orang merasakan berat yang berbeda, hal ini terlihat dari ekspresi saat kami mencoba mengangkatnya.  





Pacu Jawi Alek Anak Nagari



Pacu jawi merupakan salah satu alek anak Nagari yang diselenggarakan secara rutin dan bergantian oleh empat  kecamatan di Kabupaten Tanah Datar,  Keempat  ecamatan tersebut adalah Kecamatan Pariangan, Kec Lima Kaum, Kec Rambatan dan Kec Sungai Tarab. Menurut ceritanya kegiatan ini sudah dilangsungkan sejak jaman nenek moyang dulu yang memiliki makna sebagai ungkapan rasa syukur setelah panen tiba dan merupakan kegiatan pengisi waktu menunggu musim tanam berikutnya. 

Dalam bahasa Indonesia pacu jawi artinya balapan sapi, kegiatan yang hampir mirip dengan karapan sapi, tapi berbeda gelanggangnya. Pacu jawi diadakan di lahan yang berlumpur pada sawah pasca panen. Sawah yang digunakan sebagai gelanggang acara balapan itu disebut sawah pacuan. Jika ditilik dari penggunaan istilah balapan, yang terlintas dalam pikiran kita tentunya kita akan melihat sapi-sapi berpacu dengan pasangan sapi lawannya namun ternyata tidak demikian dengan atraksi pacu jawi ini. Pasangan sapi itu tidak berlomba sebagaimana dalam arena balapan, mereka tidak berpacu dengan sapi-sapi lainnya. 

Dua ekor sapi akan dikendalikan oleh joki yang berdiri pada alat yang dinamakan pasangan bajak, alat yang memang merupakan salah satu peralatan dalam bersawah, yang dipasangkan pada masing-masing sapi. Joki berpegangan pada ekor sapi, “mengendarai” sapi agar berlari dalam lintasan yang lurus dengan waktu secepat-cepatnya. Untuk membuat sapi berlari joki akan menarik ekor kedua sapi tersebut dan bahkan jika perlu joki akan menggigit ekor sapi yang menyebabkan semakin kencang lari si jawi, mungkin karena rasa sakit. 


Ternyata tidak mudah untuk bisa mengendalikan sapi agar terus berlari kencang dalam gelanggang dan tetap berlari lurus dalam lintasan. Tidak sedikit joki yang jatuh dan akhirnya bermandi lumpur dibuatnya, tapi sungguh disitulah letak serunya, penonton akan ikut cemas dan berteriak kalau joki terjerambab. 

Dalam menentukan pemenang, penilaian dilakukan dengan melihat waktu yang ditempuh untuk sampai diakhir lintasan dan lurus tidaknya sapi itu berlari didalam lintasan. Uniknya pada atraksi ini tidak ada hadiah yang diperbutkan, acara ini semata-mata kegiatan hiburan, oleh karenanya supaya acara menjadi meriah, pada saat itupun digelar pasar, banyak orang yang berjualan makanan dan minuman, serta diadakan hiburan lainnya, beralasan memang karena acara ini berlangsung cukup lama. Area sawah yang digunakan untuk pasar disebut sawah balai. Selama acara berlangsung kita bisa mendengarkan musik tradisional Minang yang disebut talempong pacik. 

Apa keuntungan yang dapat diambil oleh para pemilik sapi dan pemilik sawah yang areal sawahnya digunakan sebagai gelanggang pacu jawi ini? sebagaimana yang diceritakan salah seorang panitia, keuntungan yang didapatkan oleh pemilik sapi, adalah harga sapi akan jadi lebih tinggi jika sapi itu ditetapkan sebagai pemenang. Sedangkan bagi pemilik sawah, kegiatan mengolah sawahnya akan dilaksanakan secara bergotong royong antara panitia dan masyarakat. Sawah dan pematang akan diperbaiki tanpa membayar upah. Oleh karena itu setiap kali akan diadakan acara pacu jawi, masyarakat dan pemilik lahan akan diajak bermusyawarah.