Rumah Gadang Minangkabau
PDIKM by Deri Ilham (Pandeka Minang) |
Beragam
adat dan kebudayaan Minangkabau merupakan asset yang perlu dijaga dan
dilestarikan keberadaanya. Salah satu asset budaya Minangkabau adalah Rumah
Gadang, rumah adat yang bukan saja digunakan sebagai tempat tinggal tetapi sekaligus berfungsi sebagai tempat
pelaksanaan adat dan tempat berkumpulnya para pemimpin kaum dalam melakukan
musyawarah untuk mencapai mufakat..
Rumah
Gadang yang dibangun atas dasar kesepakatan
anggota kaum dan dengan persetujuan Panghulu Nagari ini mengandung
nilai-nilai filosofis dalam seni dan arsitekturnya.
Secara
keseluruhan bangunan ini mencerminkan dan melambangkan semangat kebersamaan dan
sekaligus menjadi bukti nyata kemampuan adat dalam mempersatukan berbagai
kepentingan dan kebutuhan anggota kaum dalam membangun kehidupan yang harmonis,
adil dan sejahtera.
Sejarah Minangkabau
menurut Tambo
Menelusuri
asal-usul sejarah Minangkabau memang agak sulit mengingat sampai sebelum
masuknya agama Islam, sistem pencatatan sejarah hampir tidak dikenal di
Minangkabau, namun demikian itu bukan berarti bahwa orang Minang sama sekali
tidak memiliki perhatian terhadap asal muasal mereka.
Masyarakat
Minang mempunyai cara tersendiri untuk mewariskan dan meninggalkan jejak
sejarah mereka, memang bukan melalui budaya tulis menulis yang banyak
ditinggalkan melalui prasasti seperti
halnya yang kita jumpai pada peninggalan
zaman kerajaan Hindu- Budha di Pulau Jawa.
Cerita
sejarah masa lalu Alam Minangkabau disampaikan melalui Tambo dalam bentuk
cerita yang disampaikan secara lisan yang dalam perjalanan selanjutnya Tambo
juga mulai dituliskan dengan menggunakan huruf Arab.
Tambo
berisi sejarah pembentukan alam Minangkabau, menguraikan mengenai
batas-batasnya dan juga memuat tentang adat, aturan-aturan dan hukum kemasyarakatan.
Meski
ada beberbagai versi Tambo yang satu dengan lainnya saling menguatkan, selalu
ada kesamaan yang kemudian menjadi ciri khas yang dapat dijumpai pada semua
Tambo yang ada, yaitu kisah terbentuknya selalu dimulai dengan cerita mengenai proses pembentukan alam Minangkabau, dan
bermula sejak penciptaan manusia pertama, dimana kisah selanjutnya sampai pada
cerita zaman Iskandar Zulkarnain pemilik mahkota dari surga yang dibawa oleh
nabi Adam.
Iskandar
Zulkarnain memiliki 3 orang putra, Yaitu
Maharaja Alif (saudara laki-laki tertua ,Sultan dari Rum,Key Dummul Alum),
Maharaja Depang (saudara tengah, Maharaja Dempang,Sultan dari Cina, Nour
Alum),dan Maharaja Diraja (Saudara termuda, Sultan Dari Minangkabau, Aour
Alum).
Setelah
kematian ayahandanya, ketiga putra Iskandar Zulkarnain pergi berlayar ke timur
dan dalam perjalanan ketiga putra itu berselisih mengenai kepada siapa Mahkota
akan diturunkan yang pada akhirnya membuat mereka memutuskan berpisah.
Putra
tertua Maharaja Alif meneruskan perjalanan ke Rum, Maharaja Depang pergi ke
Cina dan Putra termuda melanjutkan perjalanan ke Pulau Perca, Andalas dan tiba
di puncak tertinggi Gunuang Marapi.
Disanalah
tempat mukim pertama Sultan (Sri) Maharaja Diraja yang oleh masyarakat Minang
sampai saat ini diakui sebagai nenek moyang orang Minangkabau.
Asal-usul
adat dan masyarakat Minang ini tergambar dalam gurindam yang masih sering kita
dengar, yang bunyi sebagai berikut :
Dari
mano dating palito
Dari Telong an batali
Cahayony tarag bamego-mego
Mambayang sampai ka subarang.
Dari mano asa niniek
kito
Dari Puncak Gunuang
marapi
Urun ka lagundi Nan
Baselo
Di Pariangan Padang
Panjang.
Dipatah rantieng
Sikakau
Dipatah dipasilangkan
Takambang adaik di
Minangkabau
Batumpak di Pariangan
Disitulah adaik nan
bagantuang
Gantang bareh puluik
jo padi
Disitulah adaik
bakambang
Bakambang nan indak
kuncuik lai.
Dalam
tambo alam Minangkabau diriwayatkan bahwa Sri Maharaja Diraja datang dari Tanah
Ruum ke Pulau Andalas. Mereka dikabarkan berlayar dengan menggunakan perahu dari kayu jati.
Dalam pelayarannya Rombongan Sri Maharaja Diraja melihat gosong yang tersembul
dari dalam laut yang ternyata adalah puncak gunung.
Alkisah
berlabuhlah rombongan Sri maharaja yang beranggotakan beberapa orang dari kasta
Cateri di Puncak Gunuang Marapi dan kemudian membangun kehidupan disana bersama
rombongan yang menyertainya. Datang bersama orang-orang itu beberapa orang
perempuan yang kita kenal dengan sebutan Harimau Campo, Kucing Hitam, Kambing
Hutan dan Anjing Muk Alam.
Cerita
kehidupan awal masyarakat Minang berasal dari kisah ini. Kisah yang sering kita
dengarkan lewat pantun dan dipercaya oleh masyarakat Minang turun temurun, yang
bunyinya dalam Bahasa Indonesia seperti dibawah ini :
Dari mana mulanya
terbit pelita
Dibalik tanglung nan
berapi
Dimanakah mulanya
ninik kita
Ialah di puncak gunung
Marapi.
Lama berselang Sri Maharaja berserta rombongannya berdiam di
puncak gunung Marapi, Allah mengabulkan doa yang sering dipanjatkan Sri
Maharaja agar air laut disusutkan. Air lautpun Susut, dataran menjadi semakin
bertambah luas, maka berpindahlah rombongan itu ke lereng Gunung Marapi. Tempat
itu kemudian dikenal dengan nama Labuhan si Timbago.
Konon kisahnya ditempat inilah pertamakali dibangun sumur
sebagai tempat sumber air yang dipergunakan untuk minum dan mandi. Untuk
memenuhi kebutuhan mereka akan makanan maka mereka membuka sepetak sawah yang
disebut dengan sawah satampang baniah. Menurut cerita orang-orang tua dulu yang
kemudian diteruskan kepada keturunan-keturunan berikutnya Sawah satampang
baniah itu sudah mencukupi kebutuhan hidup mereka, dan dipercaya merupakan
asal-usul padi yang ada sekarang.
Pada kisah lain dinyatakan bahwa Maharaja Diraja turun dari
Puncak Merapi setelah air laut surut dan memulai kehidupan baru di Nagari
pertama Pariangan Padangpanjang, nagari yang disebut –sebut sebagai ibukota
Minangkabau di zaman Purba. Sultan Sri Maharajo Dirajo, kemudian mendirikan
kerajaan yang dikisahkan sebagai kerajaan Minangkabau pertama di Kota Baru.
Keturunan Maharaja Diraja, Datuk Katumanggungan (St Paduko Basa) dan Datuk Perpatih nan
Sabatang (Jatang sutan Balun), dua bersaudara berlainan ayah kemudian diangkat
menjadi penghulu ketika mereka sudah dewasa dan mewarisi kerajaan ayahnya.
Pada masa mereka didirikan Kerajaan Dusun Tuo setelah
berakhirnya kerajaan Koto Baru.
Pada masa itu pula mulai ditetapkan berbagai aturan
menyangkut budaya, sistem ketatanegaraan (kenagarian) serta merancang 22 aturan induk yang dikenal
sebagai Aturan Adat Minangkabau.
Dalam masa mereka pula wilayah Minangkabau dibagi ke dalam
tiga Luhak yang dikenal dengan sebutan Luhak
Nan Tigo, yaitu :
- Luhak
Tanah Datar yang
berpusat di Batusangkar,
- Luhak Agam yang berpusat di
Bukittinggidan
- Luhak
Limapuluh Kota dengan
pusatnya di Payakumbuh
Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang
menerapkan sistem pemerintahan adat yang berbeda sehingga sejak saat itu dalam
etnis Minangkabau dikenal dua kelarasan yaitu Laras Koto Piliang
(kata-kata pilihan) yang sistem pemerintahannya bersifat otokratis dan Laras
Bodi-Caniago (budi yang terhormat) yang lebih demokratis.
Kedua kelarasan tersebut memberi pengaruh pula pada
arsitektur dan bangunan rumah adat mereka.
Asal-usul kata
Minangkabau
Kata
Minangkabau yang sering digunakan sekarang dikaitkan dengan peristiwa adu
kerbau dimana kerbau orang minang menang dalam pertarungan itu (menang kerbau).
Dalam
legenda masa lalu dikisahkan bahwa pada zaman dahulu, diadakan adu kerbau
sebagai bentuk perjanjian untuk menghindarkan serangan-serangan orang Jawa
terhadap orang Minang. Kerbau yang digunakan oleh orang jawa pada adu kerbau
tersebut adalah kerbau yang besar, sementara orang Minang saat itu mengalami
kesulitan untuk mendapatkan kerbau yang seukuran kerbau orang Jawa, namun ini
tidak menjadi kecemasan bagi orang Minang, karena kecerdikannya disiapkan anak
kerbau yang masih menyusu dan dibiarkan kehausan dan pada tanduknya dipasangkan
pisau-pisau yang tajam.
Manakala
kedua kerbau yang berbeda ukuran ini berhadapan di dalam satu gelanggang, anak
kerbau milik orang Minangkabau menganggap kerbau besar yang ada di depannya
adalah induknya, maka kerbau kecil itupun berlari ke arah kerbau besar, hendak
menyusu maksudnya, namun malang bagi kerbau besar, kerbau kecil yang
menyurukkan kepalanya untuk menyusu membuat pisau yang ada di tanduknya melukai
bagian perut kerbau besar dan mengakibatkan luka-luka yang berakhir pada
kematian kerbau milik orang Jawa, yang menandakan kemenangan bagi kerbau kecil
itu dan dengan demikian orang Minangkabau terselamatkan dari serangan orang
Jawa.
Peristiwa
kemenangan yang legendaris itu kemudian diabadikan pada bentuk atap rumah adat
Minangkabau yang menyerupai tanduk kerbau.
Rumah Adat
Minangkabau
Rumah
adat yang berasitektur kayu, berpanggung dan memiliki atap yang menyerupai
tanduk kerbau ini ditopang oleh sejumlah tiang dari kayu besi, atapnya
menggunakan bahan ijuk yang berwarna hitam, namun sebenarnya sejak dulu pun sudah ada rumah gadang yang
atapnya terbuat dari seng seperti yang banyak kita jumpai sekarang.
Dinding
bagian luar rumah tersusun dari kayu berukir dengan warna-warni yang cerah.
Motif ukiran bermacam-macam, meskipun tidak mengandung makna khusus kecuali
semata untuk keindahan, umumnya ukiran bermotifkan benda alam raya, biasanya ukiran-ukiran
itu bermotif tumbuh-tumbuhan.
Ada
dua tipe rumah gadang yang merujuk pada sistem adat dalam kelarasan yang ada,
laras Koto Piliang dan Laras Bodi-Caniago yang berkaitan dengan kedua Datuk , Datuk Perpatih Nan
Sabatang dan Datuk Katumanggungan yang mendirikan kerajaan Dusun Tuo.
Perbedaan kedua rumah Gadang
tersebut bisa dilihat dari bangunan lantainya dimana rumah gadang Lareh Bodi
Caniago seluruh lantainya rata tidak ada bagian yang lebih tinggi seperti yang
terlihat pada rumah gadang Lareh Koto Piliang yang memiliki anjung atau bagian
yang menaik pada kedua ujung rumah.
Dalam naskah yang disusun oleh Nusjirwan A dan staf
BPSK disebutkan ada tiga tipe rumah gadang.
- Rumah Gadang Gajah Maharam
- Rumah Gadang Rajo Babandiang
- Rumah Gadang Bapaserek
1. RUMAH GADANG GAJAH MAHARAM
Disebut sebagai rumah gadang gajah maharam karena
katanya rumah ini memiliki bentuk seperti gajah yang sedang mendekam
(Maharam=mendekam). Rumah Gadang ini memiliki bagian yang lebih tinggi dari
lantai rumah disebelah ujung kanan dan kiri dari pintu masuk. Bagian yang lebih
tinggi tersebut dinamakan anjung, sehingga ada yang menyebut tipe rumah gadang
ini dengan sebutan Rumah Baanjuang.
Rumah Baanjuang masih bisa kita temukan di Padang
Panjang, miliki kaum Dt Tan Majolelo yang pernah menjadi peserta terbaik I pada
lomba penataan perkarangan Rumah Gadang se Sumatera Barat yang diselenggarakan
pada tahun 2009.
2. RUMAH GADANG RAJO BABANDIANG
Rumah Gadang
jenis ini tidak memiliki anjuang dan atapnya lebih tinggi dari Rumah Gadang
tipe Gajah Maharam
3. RUMAH GADANG BAPASEREK
Rumah gadang ini hanya memiliki satu anjuang di
sebelah kiri dan bagian yang ditinggikan tersebut dinamakan Tingkah atau
Tindieh
Rumah Gadang ini bisa ditemukan di Kenagarian Koto Nan
Ampek Payakumbuh, bangunannya memiliki bagian yang diseret sehingga ada bagian
yang menonjol di belakang atau disamping. Bagian belakang yang diseret
digunakan sebagai kamar, sedangkan yang disamping digunakan sebagai dapur.
Bersambung: Arsitektur
Rumah Gadang
Sumber:
- Adat Minangkabau. Pola Dan Tujuan Hidup Orang Minang, Amir M.S
- Adat Minangkabau Dan Merantau Dalam Perspektif Sejarah, Tsuyoshi Kato
- Mambangkik Batang Tarandam Dalam Upaya Mewariskan Dan Melestarikan Adat Minagkabau, H Julius Dt Malako Nan Putiah
- Ensiklopedia Sejarah Dan Budaya
- Pustaka Budaya Dan Arsitektur Minangkabau, Myrtha Soeroto
- Sejarah Sumatera, William Marsden
- Sengketa Tiada Putus, Jeffrey Hadler
- Tambo Alam Minangkabau, Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang, Ibrahim Dt Sanggoeno Diradjo
- Tambo Minangkabau. Budaya Dan Hukum Adat Di Minangkabau, Ir Edison Magindo Sutan,Sh,M.Kn Dan Nasrun Dt Marajo Sungut