Kali
ini tim Pulau Api melakukan perjalanan wisatanya di Padang dan sekitarnya.
Tempat yang menjadi tujuan adalah Rumah Gadang di Lubuk Minturun. Tidak seperti
biasanya kali ini anggota tim jalan-jalan tidak lengkap, perjalanan hanya
menyertakan dua orang saja, aku dan Ekin Rang sikumbang. Masing-masing kami
sama-sama berfungsi sebagai fotografer yang akan mengambil gambar dan sekaligus
mencari informasi yang akan dirangkai dalam kisah perjalanan wisata.
Rumah Gadang Siti Nurbaya.
Rumah
adat yang saat ini ditempati oleh taci Dahniar dikenal banyak orang dengan
sebutan rumah gadang Siti nurbaya karena rumah ini pernah menjadi lokasi
shooting Sinetron Siti Nurbaya beberapa tahun silam.
Rumah
yang menurut Taci sudah berusia ratusan tahun masih terlihat kokoh dan terawat,
meskipun disana-sini terlihat banyak kayu yang sudah berlubang dimakan rayap. Hampir
sebagian besar bagian rumah ini masih asli dan renovasi hanya dilakukan pada
bagian yang sudah rusak parah.
Rumah
yang secara fisik memang besar (luas ) ini berlokasi di Kota Tuo Kecamatan Koto
Tangah Kotamadya Padang, disimpang tidak jauh dari jalan By Pass. Keberadaannya
tertutup oleh sebuah lapau yang berjarak tidak jauh dari rumah yang kami tuju.
Disebelah lapau tersebut terdapat tanah kosong yang pas untuk kami memarkirkan
mobil. Beberapa orang tampak sedang asyik duduk-duduk di lapau, tidak terganggu
dengan kedatangan kami seolah sudah mengerti kemana tujuan kami setelah turun
dari mobil.
Rumah
adat yang disebut sebagai rumah gadang Siti Nurbaya ini agak berbeda dengan
rumah gadang yang biasanya bergonjong, meski atapnya melengkung tetapi tidak
ada bagian yang lancip seperti tanduk kerbau.
Rumah
ini memiliki beranda, dan untuk mencapainya ada janjang yang letaknya persis di tengah bagian depan rumah
dengan anak-anak tangga di sisi kanan dan kiri. Bagian janjang juga dilindungi
oleh atap yang pada rumah bagonjong biasanya disebut sebagai gonjong janjang. Atap
yang manaungi bagian tangga ini berbentu segitiga.
Agak
kontras dengan keseluruhan bangunan yang berkonstruksi kayu, bagian tangga ini
terbuat dari batu dan memiliki empat pilar seperti rumah modern bergaya Eropa.
Warnanya yang kuning gading tampak serasi dengan warna coklat kayu yang seolah
menjadi latar belakangnya.
Masih
di bagian halaman depan, dekat dengan tangga menuju rumah terdapat bangunan
seperti kolam yang disebut sebagai kulah. Secara filosofi keberadaan kulah yang
dulu berisi air yang dipergunakan untuk mencuci kaki sebelum masuk rumah adalah
sebagai pelambang penyuci jiwa karena dari dalam rumah akhlak manusia mulai
dibentuk, sehingga siapapun yang hendak memasuki rumah harus membersihkan
kakinya yang melambangkan pembersihan diri. Saat ini kedua kolam itu sudah
tidak berfungsi lagi, tidak berisi air.
Setelah
melewati tangga kita akan sampai pada sebuah ruang terbuka. Kami diterima
dengan ramah oleh Taci Dahniar di tempat ini, bersantai duduk sambil
mendengarkan penuturan beliau tentang rumah gadang yang usianya sudah lebih
dari seratus tahun. Ruang tempat kami diterima pertama kali dinamakan ruang Tapi,
aku menyebutnya serambi.
Serambi
adalah sebuah ruang terbuka seperti balkon yang dibatasi birai, pagar rendah
yang memiliki corak hias sederhana. Lantainya terdiri dari papan yang sebagian
masih orisinil. Terdapat Kursi dan meja serta bangku panjang yang ditempatkan
disisi kanan dan kiri rumah, sebagai tempat orang rumah duduk menerima tamu.
Dinding belakang yang menjadi batas ruang depan dengan ruang tengah ini juga
masih asli, terbuat dari kayu yang sekarang sudah banyak berlubang termakan
rayap. Ada tonggak yang berasal dari batang pohon, bentuknya tidak lurus, tetapi
itu menambah kesan artistik yang unik.
Sambil
bercerita, Taci mengizinkan kami masuk untuk melihat-lihat sampai kedalam.
“Masuaklah
nak, silahkan lihat-lihat apa yang ingin dilihat” katanya.
“boleh
kami ambil gambarnya Taci?” tanyaku yang sebenarnya merupakan permintaan izin.
Permintaanku dikabulkan, kamipun masuk.
Antara
serambi dan ruang tengah dihubungkan oleh pintu yang nampaknya merupakan pintu utama
bagunan rumah.
Ruang
tengah tidak terlampau luas, tetapi cukup untuk menampung banyak orang. Ruang
ini menurut Taci dahulunya digunakan sebagai tempat kumpul dan bemusyawarah,
sekarang nampak lengang hanya satu set kursi dan meja bundar kecil yang
mengisi.
Pada bagian lantai yang tepat berada didepan pintu yang akan membawa
kita ke ruang dalam terlihat adanya bagian lantai yang memiliki celah memanjang
dengan lebar celah yang tidak terlalu besar, mungkin selebar dua jari. Menurut
Taci Dahniar, celah ini berfungsi tempat mengalirkan air ke tanah ketika
memandikan jenasah anggota keluarga di atas rumah.
Sebagian
lantai masih asli dan bagian-bagian yang rusak dan rapuh ditambal dengan
tripleks.
Dari
ruang tangah kami terus masuk lebih dalam, ke ruangan yang memiliki atap yang
tinggi sehingga kesan luas begitu terasa. Ruang ini memiliki beberapa ruang
yang masih digunakan sebagai bilik atau kamar.
Beberapa
tonggak berdiri d tengah ruang.
Pada
mulanya ruangan ini memiliki pagu, loteng tempat penyimpanan, tetapi sekarang
sudah dibongkar sehingga ruangan yang tanpa plafon ini semakin kelihatan sangat
luas.
Dibagian
belakang ruang dalam yang terdiri dari beberapa bilik adalah dapur. Beberapa
perabot rumah tergantung disitu.
Melihat
keseluruhan arsitektur rumah ini agak sulit bagiku untuk menentukan tipe rumah
gadang ini, sebab pengetahuanku tentang rumah gadang baru sebatas tipe rumah
gadang dari lareh Bodi Caniago dan lareh Koto Piliang.
Ada yang bilang ini
merupakan rumah adat Rantau Pasisie karena memiliki serambi yang terbuka yang
merupakan ciri khasnya. Rasanya ketidaktahuanku agak sedikit beralasan karena
memang beberapa tipe rumah adat yang pernah ada dulu sekarang semakin lama
semakin dilupakan orang dan tidak popular lagi, misalnya Rumah Adat Tipe
“Tungku Nasi”, Rumah Adat “Kanjang Padati” dan Rumah Adat “Dangau
Layag-layang”.
Mungkin
dalam perjalanan wisata kali ini, Tim Pulau Api akan mencari bentuk-bentuk
rumah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar