Senin, 07 Maret 2016

Batu Angkek-angkek, Sungayang, Kab Tanah Datar


(posting ulang)

Batu angkek-angkek, salah satu obyek wisata di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat yang terdapat di desa Balai Tabuh Kecamatan Sungayang memang mengundang rasa penasaran.
Terletak  di dalam rumah adat Minangkabau yang usianya sudah sekitar seabad, batu ini diperkirakan umurnya lebih dari 200 tahun. Dikisahkan oleh Alfi Putra, bahwa sudah sejak 7 generasi diatasnya menyimpan dan merawat batu ini, katanya “bayangkan saja, saya saja sekarang berumur 38 tahun, kalau setiap generasi rata-rata berusia minimal seumur saya, artinya usia batu ini sudah lebih dari 200 tahun khan?”

Obyek wisata ini memang sempat menghebohkan dan menimbulkan keberatan dari sebagian orang karena menganggap mengunjungi tempat ini dekat dengan perbuatan syirik dan bertentangan dengan ajaran agama. Tidaklah heran mengapa sampai ada orang yang berpikir demikian karena pada papan yang dipasang oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Tanah Datar di halaman depan rumah adat tersebut terdapat kalimat seperti ini : “...Sekarang batu ini dikenal dengan batu angkek-angkek, ramai dikunjungi oleh wisatawan. Untuk mengetahui pertanda niat seseorang tercapai atau tidaknya maka dapat dilihat terangkat atau tidaknya batu tersebut”.

Kalimat itu yang mungkin menyebabkan orang berpikir seolah mereka yang mengunjungi tempat ini datang untuk berdoa atau meminta pada batu yang terkesan mistis ini, apalagi memang ada informasi bahwa sebelum mengangkat batu dianjurkan untuk membaca bismillahirrahminarrahim, membaca shalawat 3 kali baru kemudian batu diangkat atau “dielo” (dihela).

Apa memang benar demikian? Itulah yang kami ingin ketahui.

Beruntung pada kunjungan tersebut kami bertemu dengan Alfi yang dapat bercerita tentang kisah batu ini yang menurutnya dikisahkan secara turun temurun dari generasi-generasi sebelumnya. Tanpa mengetahui maksud kami sebenarnya,  kehadiran kami di rumah itu disambut dengan hangat dan ramah. Pertemuan yang baru pertama kali itu serupa pertemuan keluarga saja, kami bercerita kesana-kemari dan akhirnya selalu kembali pada cerita batu.
Cerita tentang batu ini bermula ketika Dt Bandaro Kayo dari suku Piliang ingin membangun sebuah perkampungan dan mendirikan rumah adat di kampung yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Palangan.

Seperti lazimnya dalam batagak rumah, maka Tonggak Tuo, tiang utama akan dipancangkan terlebih dulu, namun pada saat itu tonggak menyentuh “sesuatu” di dalam tanah dan menimbulkan peristiwa dan kejadian-kejadian aneh yang menimbulkan rasa ketakutan. Dikisahkan pada saat tersebut dan selama 14 hari setelahnya terjadi gempa dan hujan panas. Situasi yang demikian membuat mereka yang merencanakan membangun perkampungan baru bermusyawarah dan memutuskan untuk membatalkan niat, namun saat kesepakatan tercapai bahwa rencana membangun rumah disitu dibatalkan tiba-tiba terdengar suara gaib yang kira-kira berbunyi “Ambillah saya...”.

Akhirnya pada tempat dimana tonggak tuo akan dipancangkan tanahpun digali dan ditemukan sebongkah batu terdiri dari dua keping seperti buah jengkol, dan hanya kepingan batu bagian atas saja yang diambil sedangkan bagian bawahnya seperti semakin menghujam kedalam bumi dan tidak dapat diangkat.Batu itu kemudian dinamakan Batu Pandapatan, dan rumah pun berhasil didirikan.

Entah bagaimana kisah awalnya, akhirnya batu ini kemudian bernama Batu Angkek-angkek dan berkembang cerita bahwa batu ini bisa dijadikan pertanda apakah niatan seseorang dapat terkabul atau tidak dengan cara mengangkat batu ini atau maelonya sampai ke atas paha. Jika batu dapat dipindahkan dari lantai ke paha, artinya orang tersebut berhasil mengangkat batu dan itu menandakan bahwa apa yang menjadi keinginan akan tercapai. Begitu issue yang berkembang dan ada sebagian orang yang mempercayainya.

Issue ini memang agak sensitif tetapi aku penasaran juga apa memang benar seperti itu, apakah benar untuk mengangkatnya kita harus lebih dulu sujud? Penasaran ini harus terjawab  jadi harus aku tanyakan dan kami minta ditunjukkan bagaimana cara mengangkat batu tersebut.
Sambil cerita Alfi kemudian memperagakan bagaimana cara maelo batu tersebut. Batu dinyatakan dapat terangkat apabila batu bisa diletakkan di atas paha, jadi saat mengangkatnya memang kita dalam posisi duduk, bersimpuh ataupun bersila dengan salah satu kaki kebelakang. Mengangkat batu ini rupanya tidak seperti yang aku bayangkan.

“Posisi duduk boleh diatur seenak dan senyaman mungkin” katanya, dan memang tidak ada aturan khusus. Kemudian kedua lengan memeluk batu dari bagian bawah, untuk bisa seperti itu kita tentu harus menurunkan badan, agak membungkuk dengan kedua lengan bertumpu pada lantai,sehingga sekilas memang seperti gerakan orang bersujud dan karena batu terletak di bagian depan, dikatakan pula bahwa itu adalah gerakan bersujud pada batu, padahal sama sekali tidak ada sedikitpun gerakan sujud yang dimaksud itu.
Setelah batu terpegang baru kemudian diangkat, tapi kalau tidak kuat langsung mengangkatnya batu boleh digeser sedikit demi sedikit lalu diangkat ke atas paha.

Mengenai membaca bismillah dan shalawat sebetulnya hal itu biasa saja, untuk melakukan kerja apapun kita memang sebaiknya mendahulukan dengan menyebut nama Allah, tetapi ketika akan mengangkat batu ini, sesungguhnya itu tidak ditujukan kepada batu. Kalaupun ada yang kemudian mengucapkan doa dalam hati, itupun bukan meminta pada batu untuk ditunjukkan apakah doa yang dipanjatkan akan terkabul, seperti yang dikatakan Uda Alfi ini : “Orang yang datang kesini khan orang yang pinter-pinter, mana mau mereka disuruh meminta ke batu, agama manapun gak ada yang mengajarkan begitu”

Alfi pun mengatakan bahwa dia sendiri tidak dapat menjelaskan mengapa tidak semua orang dapat mengangkat batu ini dengan mudah, bahwa sensasi berat yang dirasakan setiap orang berbeda itu semata hanya karena kekuasaan Allah dan itu tidak ada kaitannya dengan akan dikabulkan atau tidaknya doa yang dipanjatkan.

Setelah puas mendengar cerita dan penjelasannya, maka kamipun satu persatu mulai mencoba maelo batu Angkek-angkek itu, aku bahkan sama sekali tidak sempat berfikir untuk berdoa disitu, yang segera ingin kuketahui seberapa berat batu yang ukurannya sebesar batu tempat menggiling lado (cobek) itu. Meski tidak mampu melakukannya sambil  duduk bersimpuh seperti yang dicontohkan, batu itu bisa juga berpindah ke atas paha dengan cara menariknya sedikit demi sedikit.

Seperti cerita yang kami dengar sebelumnya, betul bahwa setiap orang merasakan berat yang berbeda, hal ini terlihat dari ekspresi saat kami mencoba mengangkatnya.  





Pacu Jawi Alek Anak Nagari



Pacu jawi merupakan salah satu alek anak Nagari yang diselenggarakan secara rutin dan bergantian oleh empat  kecamatan di Kabupaten Tanah Datar,  Keempat  ecamatan tersebut adalah Kecamatan Pariangan, Kec Lima Kaum, Kec Rambatan dan Kec Sungai Tarab. Menurut ceritanya kegiatan ini sudah dilangsungkan sejak jaman nenek moyang dulu yang memiliki makna sebagai ungkapan rasa syukur setelah panen tiba dan merupakan kegiatan pengisi waktu menunggu musim tanam berikutnya. 

Dalam bahasa Indonesia pacu jawi artinya balapan sapi, kegiatan yang hampir mirip dengan karapan sapi, tapi berbeda gelanggangnya. Pacu jawi diadakan di lahan yang berlumpur pada sawah pasca panen. Sawah yang digunakan sebagai gelanggang acara balapan itu disebut sawah pacuan. Jika ditilik dari penggunaan istilah balapan, yang terlintas dalam pikiran kita tentunya kita akan melihat sapi-sapi berpacu dengan pasangan sapi lawannya namun ternyata tidak demikian dengan atraksi pacu jawi ini. Pasangan sapi itu tidak berlomba sebagaimana dalam arena balapan, mereka tidak berpacu dengan sapi-sapi lainnya. 

Dua ekor sapi akan dikendalikan oleh joki yang berdiri pada alat yang dinamakan pasangan bajak, alat yang memang merupakan salah satu peralatan dalam bersawah, yang dipasangkan pada masing-masing sapi. Joki berpegangan pada ekor sapi, “mengendarai” sapi agar berlari dalam lintasan yang lurus dengan waktu secepat-cepatnya. Untuk membuat sapi berlari joki akan menarik ekor kedua sapi tersebut dan bahkan jika perlu joki akan menggigit ekor sapi yang menyebabkan semakin kencang lari si jawi, mungkin karena rasa sakit. 


Ternyata tidak mudah untuk bisa mengendalikan sapi agar terus berlari kencang dalam gelanggang dan tetap berlari lurus dalam lintasan. Tidak sedikit joki yang jatuh dan akhirnya bermandi lumpur dibuatnya, tapi sungguh disitulah letak serunya, penonton akan ikut cemas dan berteriak kalau joki terjerambab. 

Dalam menentukan pemenang, penilaian dilakukan dengan melihat waktu yang ditempuh untuk sampai diakhir lintasan dan lurus tidaknya sapi itu berlari didalam lintasan. Uniknya pada atraksi ini tidak ada hadiah yang diperbutkan, acara ini semata-mata kegiatan hiburan, oleh karenanya supaya acara menjadi meriah, pada saat itupun digelar pasar, banyak orang yang berjualan makanan dan minuman, serta diadakan hiburan lainnya, beralasan memang karena acara ini berlangsung cukup lama. Area sawah yang digunakan untuk pasar disebut sawah balai. Selama acara berlangsung kita bisa mendengarkan musik tradisional Minang yang disebut talempong pacik. 

Apa keuntungan yang dapat diambil oleh para pemilik sapi dan pemilik sawah yang areal sawahnya digunakan sebagai gelanggang pacu jawi ini? sebagaimana yang diceritakan salah seorang panitia, keuntungan yang didapatkan oleh pemilik sapi, adalah harga sapi akan jadi lebih tinggi jika sapi itu ditetapkan sebagai pemenang. Sedangkan bagi pemilik sawah, kegiatan mengolah sawahnya akan dilaksanakan secara bergotong royong antara panitia dan masyarakat. Sawah dan pematang akan diperbaiki tanpa membayar upah. Oleh karena itu setiap kali akan diadakan acara pacu jawi, masyarakat dan pemilik lahan akan diajak bermusyawarah.

Kamis, 21 Maret 2013

Rumah Gadang Minangkabau


Rumah Gadang Minangkabau

PDIKM by Deri Ilham (Pandeka Minang)

Beragam adat dan kebudayaan Minangkabau merupakan asset yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaanya. Salah satu asset budaya Minangkabau adalah Rumah Gadang, rumah adat yang bukan saja digunakan sebagai tempat tinggal tetapi  sekaligus berfungsi sebagai tempat pelaksanaan adat dan tempat berkumpulnya para pemimpin kaum dalam melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat..

Rumah Gadang yang dibangun atas dasar kesepakatan  anggota kaum dan dengan persetujuan Panghulu Nagari ini mengandung nilai-nilai filosofis dalam seni dan arsitekturnya.
Secara keseluruhan bangunan ini mencerminkan dan melambangkan semangat kebersamaan dan sekaligus menjadi bukti nyata kemampuan adat dalam mempersatukan berbagai kepentingan dan kebutuhan anggota kaum dalam membangun kehidupan yang harmonis, adil dan sejahtera.

Sejarah Minangkabau menurut Tambo

Menelusuri asal-usul sejarah Minangkabau memang agak sulit mengingat sampai sebelum masuknya agama Islam, sistem pencatatan sejarah hampir tidak dikenal di Minangkabau, namun demikian itu bukan berarti bahwa orang Minang sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap asal muasal mereka.
Masyarakat Minang mempunyai cara tersendiri untuk mewariskan dan meninggalkan jejak sejarah mereka, memang bukan melalui budaya tulis menulis yang banyak ditinggalkan melalui prasasti  seperti halnya yang kita jumpai pada peninggalan  zaman kerajaan Hindu- Budha di Pulau Jawa. 

Cerita sejarah masa lalu Alam Minangkabau disampaikan melalui Tambo dalam bentuk cerita yang disampaikan secara lisan yang dalam perjalanan selanjutnya Tambo juga mulai dituliskan dengan menggunakan huruf Arab.
Tambo berisi sejarah pembentukan alam Minangkabau, menguraikan mengenai batas-batasnya dan juga memuat tentang adat, aturan-aturan dan hukum kemasyarakatan.

Meski ada beberbagai versi Tambo yang satu dengan lainnya saling menguatkan, selalu ada kesamaan yang kemudian menjadi ciri khas yang dapat dijumpai pada semua Tambo yang ada, yaitu kisah terbentuknya selalu dimulai dengan cerita mengenai  proses pembentukan alam Minangkabau, dan bermula sejak penciptaan manusia pertama, dimana kisah selanjutnya sampai pada cerita zaman Iskandar Zulkarnain pemilik mahkota dari surga yang dibawa oleh nabi Adam.

Iskandar Zulkarnain  memiliki 3 orang putra, Yaitu Maharaja Alif (saudara laki-laki tertua ,Sultan dari Rum,Key Dummul Alum), Maharaja Depang (saudara tengah, Maharaja Dempang,Sultan dari Cina, Nour Alum),dan Maharaja Diraja (Saudara termuda, Sultan Dari Minangkabau, Aour Alum).

Setelah kematian ayahandanya, ketiga putra Iskandar Zulkarnain pergi berlayar ke timur dan dalam perjalanan ketiga putra itu berselisih mengenai kepada siapa Mahkota akan diturunkan yang pada akhirnya membuat mereka memutuskan berpisah.

Putra tertua Maharaja Alif meneruskan perjalanan ke Rum, Maharaja Depang pergi ke Cina dan Putra termuda melanjutkan perjalanan ke Pulau Perca, Andalas dan tiba di puncak tertinggi Gunuang Marapi.
Disanalah tempat mukim pertama Sultan (Sri) Maharaja Diraja yang oleh masyarakat Minang sampai saat ini diakui sebagai nenek moyang orang Minangkabau.
Asal-usul adat dan masyarakat Minang ini tergambar dalam gurindam yang masih sering kita dengar, yang bunyi sebagai berikut :

Dari mano dating palito
Dari Telong an batali
Cahayony tarag bamego-mego
Mambayang sampai ka subarang.

Dari mano asa niniek kito
Dari Puncak Gunuang marapi
Urun ka lagundi Nan Baselo
Di Pariangan Padang Panjang.

Dipatah rantieng Sikakau
Dipatah dipasilangkan
Takambang adaik di Minangkabau
Batumpak di Pariangan

Disitulah adaik nan bagantuang
Gantang bareh puluik jo padi
Disitulah adaik bakambang
Bakambang nan indak kuncuik lai.

Dalam tambo alam Minangkabau diriwayatkan bahwa Sri Maharaja Diraja datang dari Tanah Ruum ke Pulau Andalas. Mereka dikabarkan berlayar  dengan menggunakan perahu dari kayu jati. Dalam pelayarannya Rombongan Sri Maharaja Diraja melihat gosong yang tersembul dari dalam laut yang ternyata adalah puncak gunung.

Alkisah berlabuhlah rombongan Sri maharaja yang beranggotakan beberapa orang dari kasta Cateri di Puncak Gunuang Marapi dan kemudian membangun kehidupan disana bersama rombongan yang menyertainya. Datang bersama orang-orang itu beberapa orang perempuan yang kita kenal dengan sebutan Harimau Campo, Kucing Hitam, Kambing Hutan dan Anjing Muk Alam.

Cerita kehidupan awal masyarakat Minang berasal dari kisah ini. Kisah yang sering kita dengarkan lewat pantun dan dipercaya oleh masyarakat Minang turun temurun, yang bunyinya dalam Bahasa Indonesia seperti dibawah ini :

Dari mana mulanya terbit pelita
Dibalik tanglung nan berapi
Dimanakah mulanya ninik kita
Ialah di puncak gunung Marapi.

Lama berselang Sri Maharaja berserta rombongannya berdiam di puncak gunung Marapi, Allah mengabulkan doa yang sering dipanjatkan Sri Maharaja agar air laut disusutkan. Air lautpun Susut, dataran menjadi semakin bertambah luas, maka berpindahlah rombongan itu ke lereng Gunung Marapi. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Labuhan si Timbago.

Konon kisahnya ditempat inilah pertamakali dibangun sumur sebagai tempat sumber air yang dipergunakan untuk minum dan mandi. Untuk memenuhi kebutuhan mereka akan makanan maka mereka membuka sepetak sawah yang disebut dengan sawah satampang baniah. Menurut cerita orang-orang tua dulu yang kemudian diteruskan kepada keturunan-keturunan berikutnya Sawah satampang baniah itu sudah mencukupi kebutuhan hidup mereka, dan dipercaya merupakan asal-usul padi yang ada sekarang.

Pada kisah lain dinyatakan bahwa Maharaja Diraja turun dari Puncak Merapi setelah air laut surut dan memulai kehidupan baru di Nagari pertama Pariangan Padangpanjang, nagari yang disebut –sebut sebagai ibukota Minangkabau di zaman Purba. Sultan Sri Maharajo Dirajo, kemudian mendirikan kerajaan yang dikisahkan sebagai kerajaan Minangkabau  pertama di Kota Baru.

Keturunan Maharaja Diraja, Datuk Katumanggungan  (St Paduko Basa) dan Datuk Perpatih nan Sabatang (Jatang sutan Balun), dua bersaudara berlainan ayah kemudian diangkat menjadi penghulu ketika mereka sudah dewasa dan mewarisi kerajaan ayahnya.
Pada masa mereka didirikan Kerajaan Dusun Tuo setelah berakhirnya  kerajaan Koto Baru.

Pada masa itu pula mulai ditetapkan berbagai aturan menyangkut budaya, sistem ketatanegaraan (kenagarian)  serta merancang 22 aturan induk yang dikenal sebagai Aturan Adat Minangkabau.
Dalam masa mereka pula wilayah Minangkabau dibagi ke dalam tiga Luhak yang dikenal dengan sebutan Luhak Nan Tigo, yaitu :
  1. Luhak Tanah Datar yang berpusat di Batusangkar,
  2. Luhak Agam yang berpusat di Bukittinggidan
  3. Luhak Limapuluh Kota dengan pusatnya di Payakumbuh
Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang menerapkan sistem pemerintahan adat yang berbeda sehingga sejak saat itu dalam etnis Minangkabau  dikenal  dua kelarasan yaitu Laras Koto Piliang (kata-kata pilihan) yang sistem pemerintahannya bersifat otokratis dan Laras Bodi-Caniago (budi yang terhormat) yang lebih demokratis.
Kedua kelarasan tersebut memberi pengaruh pula pada arsitektur dan bangunan rumah adat mereka.

Asal-usul kata Minangkabau

Kata Minangkabau yang sering digunakan sekarang dikaitkan dengan peristiwa adu kerbau dimana kerbau orang minang menang dalam pertarungan itu (menang kerbau).

Dalam legenda masa lalu dikisahkan bahwa pada zaman dahulu, diadakan adu kerbau sebagai bentuk perjanjian untuk menghindarkan serangan-serangan orang Jawa terhadap orang Minang. Kerbau yang digunakan oleh orang jawa pada adu kerbau tersebut adalah kerbau yang besar, sementara orang Minang saat itu mengalami kesulitan untuk mendapatkan kerbau yang seukuran kerbau orang Jawa, namun ini tidak menjadi kecemasan bagi orang Minang, karena kecerdikannya disiapkan anak kerbau yang masih menyusu dan dibiarkan kehausan dan pada tanduknya dipasangkan pisau-pisau yang tajam.

Manakala kedua kerbau yang berbeda ukuran ini berhadapan di dalam satu gelanggang, anak kerbau milik orang Minangkabau menganggap kerbau besar yang ada di depannya adalah induknya, maka kerbau kecil itupun berlari ke arah kerbau besar, hendak menyusu maksudnya, namun malang bagi kerbau besar, kerbau kecil yang menyurukkan kepalanya untuk menyusu membuat pisau yang ada di tanduknya melukai bagian perut kerbau besar dan mengakibatkan luka-luka yang berakhir pada kematian kerbau milik orang Jawa, yang menandakan kemenangan bagi kerbau kecil itu dan dengan demikian orang Minangkabau terselamatkan dari serangan orang Jawa.

Peristiwa kemenangan yang legendaris itu kemudian diabadikan pada bentuk atap rumah adat Minangkabau yang menyerupai tanduk kerbau.

Rumah Adat Minangkabau

Rumah adat yang berasitektur kayu, berpanggung dan memiliki atap yang menyerupai tanduk kerbau ini ditopang oleh sejumlah tiang dari kayu besi, atapnya menggunakan bahan ijuk yang berwarna hitam, namun sebenarnya  sejak dulu pun sudah ada rumah gadang yang atapnya terbuat dari seng seperti yang banyak kita jumpai sekarang.

Dinding bagian luar rumah tersusun dari kayu berukir dengan warna-warni yang cerah. Motif ukiran bermacam-macam, meskipun tidak mengandung makna khusus kecuali semata untuk keindahan, umumnya ukiran bermotifkan benda alam raya, biasanya ukiran-ukiran itu bermotif tumbuh-tumbuhan.

Ada dua tipe rumah gadang yang merujuk pada sistem adat dalam kelarasan yang ada, laras Koto Piliang dan Laras Bodi-Caniago yang berkaitan dengan kedua Datuk , Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan yang mendirikan kerajaan Dusun Tuo.

Perbedaan kedua rumah Gadang tersebut bisa dilihat dari bangunan lantainya dimana rumah gadang Lareh Bodi Caniago seluruh lantainya rata tidak ada bagian yang lebih tinggi seperti yang terlihat pada rumah gadang Lareh Koto Piliang yang memiliki anjung atau bagian yang menaik pada kedua ujung rumah.

Dalam naskah yang disusun oleh Nusjirwan A dan staf BPSK disebutkan ada tiga tipe rumah gadang.
  1. Rumah Gadang Gajah Maharam
  2. Rumah Gadang Rajo Babandiang
  3. Rumah Gadang Bapaserek
1.     RUMAH GADANG GAJAH MAHARAM
Disebut sebagai rumah gadang gajah maharam karena katanya rumah ini memiliki bentuk seperti gajah yang sedang mendekam (Maharam=mendekam). Rumah Gadang ini memiliki bagian yang lebih tinggi dari lantai rumah disebelah ujung kanan dan kiri dari pintu masuk. Bagian yang lebih tinggi tersebut dinamakan anjung, sehingga ada yang menyebut tipe rumah gadang ini dengan sebutan Rumah Baanjuang.
Rumah Baanjuang masih bisa kita temukan di Padang Panjang, miliki kaum Dt Tan Majolelo yang pernah menjadi peserta terbaik I pada lomba penataan perkarangan Rumah Gadang se Sumatera Barat yang diselenggarakan pada tahun 2009.
2.     RUMAH GADANG RAJO BABANDIANG
Rumah Gadang jenis ini tidak memiliki anjuang dan atapnya lebih tinggi dari Rumah Gadang tipe Gajah Maharam
3.     RUMAH GADANG BAPASEREK
Rumah gadang ini hanya memiliki satu anjuang di sebelah kiri dan bagian yang ditinggikan tersebut dinamakan Tingkah atau Tindieh
Rumah Gadang ini bisa ditemukan di Kenagarian Koto Nan Ampek Payakumbuh, bangunannya memiliki bagian yang diseret sehingga ada bagian yang menonjol di belakang atau disamping. Bagian belakang yang diseret digunakan sebagai kamar, sedangkan yang disamping digunakan sebagai dapur.

Bersambung: Arsitektur Rumah Gadang
Sumber:
  1. Adat Minangkabau. Pola Dan Tujuan Hidup Orang Minang, Amir M.S
  2. Adat Minangkabau Dan Merantau Dalam Perspektif Sejarah, Tsuyoshi Kato
  3. Mambangkik Batang Tarandam Dalam Upaya Mewariskan Dan Melestarikan Adat Minagkabau,  H Julius Dt Malako Nan Putiah
  4. Ensiklopedia Sejarah Dan Budaya
  5. Pustaka Budaya Dan Arsitektur Minangkabau, Myrtha Soeroto
  6. Sejarah Sumatera, William Marsden
  7. Sengketa Tiada Putus, Jeffrey Hadler
  8. Tambo Alam Minangkabau, Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang, Ibrahim Dt Sanggoeno Diradjo
  9. Tambo Minangkabau. Budaya Dan Hukum Adat Di Minangkabau, Ir Edison Magindo Sutan,Sh,M.Kn  Dan Nasrun Dt Marajo Sungut











Selasa, 19 Maret 2013

Rumah Gadang "Siti Nurbaya", Koto Tuo, Kecamatan Koto Tangah


Kali ini tim Pulau Api melakukan perjalanan wisatanya di Padang dan sekitarnya. Tempat yang menjadi tujuan adalah Rumah Gadang di Lubuk Minturun. Tidak seperti biasanya kali ini anggota tim jalan-jalan tidak lengkap, perjalanan hanya menyertakan dua orang saja, aku dan Ekin Rang sikumbang. Masing-masing kami sama-sama berfungsi sebagai fotografer yang akan mengambil gambar dan sekaligus mencari informasi yang akan dirangkai dalam kisah perjalanan wisata.

Rumah Gadang Siti Nurbaya.

Rumah adat yang saat ini ditempati oleh taci Dahniar dikenal banyak orang dengan sebutan rumah gadang Siti nurbaya karena rumah ini pernah menjadi lokasi shooting Sinetron Siti Nurbaya beberapa tahun silam.

Rumah yang menurut Taci sudah berusia ratusan tahun masih terlihat kokoh dan terawat, meskipun disana-sini terlihat banyak kayu yang sudah berlubang dimakan rayap. Hampir sebagian besar bagian rumah ini masih asli dan renovasi hanya dilakukan pada bagian yang sudah rusak parah.

Rumah yang secara fisik memang besar (luas ) ini berlokasi di Kota Tuo Kecamatan Koto Tangah Kotamadya Padang, disimpang tidak jauh dari jalan By Pass. Keberadaannya tertutup oleh sebuah lapau yang berjarak tidak jauh dari rumah yang kami tuju. Disebelah lapau tersebut terdapat tanah kosong yang pas untuk kami memarkirkan mobil. Beberapa orang tampak sedang asyik duduk-duduk di lapau, tidak terganggu dengan kedatangan kami seolah sudah mengerti kemana tujuan kami setelah turun dari mobil.

Rumah adat yang disebut sebagai rumah gadang Siti Nurbaya ini agak berbeda dengan rumah gadang yang biasanya bergonjong, meski atapnya melengkung tetapi tidak ada bagian yang lancip seperti tanduk kerbau.

Rumah ini memiliki beranda, dan untuk mencapainya ada janjang yang  letaknya persis di tengah bagian depan rumah dengan anak-anak tangga di sisi kanan dan kiri. Bagian janjang juga dilindungi oleh atap yang pada rumah bagonjong biasanya disebut sebagai gonjong janjang. Atap yang manaungi bagian tangga ini berbentu segitiga.

Agak kontras dengan keseluruhan bangunan yang berkonstruksi kayu, bagian tangga ini terbuat dari batu dan memiliki empat pilar seperti rumah modern bergaya Eropa. Warnanya yang kuning gading tampak serasi dengan warna coklat kayu yang seolah menjadi latar belakangnya.

Masih di bagian halaman depan, dekat dengan tangga menuju rumah terdapat bangunan seperti kolam yang disebut sebagai kulah. Secara filosofi keberadaan kulah yang dulu berisi air yang dipergunakan untuk mencuci kaki sebelum masuk rumah adalah sebagai pelambang penyuci jiwa karena dari dalam rumah akhlak manusia mulai dibentuk, sehingga siapapun yang hendak memasuki rumah harus membersihkan kakinya yang melambangkan pembersihan diri. Saat ini kedua kolam itu sudah tidak berfungsi lagi, tidak berisi air.

Setelah melewati tangga kita akan sampai pada sebuah ruang terbuka. Kami diterima dengan ramah oleh Taci Dahniar di tempat ini, bersantai duduk sambil mendengarkan penuturan beliau tentang rumah gadang yang usianya sudah lebih dari seratus tahun. Ruang tempat kami diterima pertama kali dinamakan ruang Tapi, aku menyebutnya serambi.

Serambi adalah sebuah ruang terbuka seperti balkon yang dibatasi birai, pagar rendah yang memiliki corak hias sederhana. Lantainya terdiri dari papan yang sebagian masih orisinil. Terdapat Kursi dan meja serta bangku panjang yang ditempatkan disisi kanan dan kiri rumah, sebagai tempat orang rumah duduk menerima tamu. 

Dinding belakang yang menjadi batas ruang depan dengan ruang tengah ini juga masih asli, terbuat dari kayu yang sekarang sudah banyak berlubang termakan rayap. Ada tonggak yang berasal dari batang pohon, bentuknya tidak lurus, tetapi itu menambah kesan artistik yang unik.
Sambil bercerita, Taci mengizinkan kami masuk untuk melihat-lihat sampai kedalam.


“Masuaklah nak, silahkan lihat-lihat apa yang ingin dilihat” katanya.
“boleh kami ambil gambarnya Taci?” tanyaku yang sebenarnya merupakan permintaan izin. Permintaanku dikabulkan, kamipun masuk.

Antara serambi dan ruang tengah dihubungkan oleh pintu yang nampaknya merupakan pintu utama bagunan rumah.



Ruang tengah tidak terlampau luas, tetapi cukup untuk menampung banyak orang. Ruang ini menurut Taci dahulunya digunakan sebagai tempat kumpul dan bemusyawarah, sekarang nampak lengang hanya satu set kursi dan meja bundar kecil yang mengisi. 



Pada bagian lantai yang tepat berada didepan pintu yang akan membawa kita ke ruang dalam terlihat adanya bagian lantai yang memiliki celah memanjang dengan lebar celah yang tidak terlalu besar, mungkin selebar dua jari. Menurut Taci Dahniar, celah ini berfungsi tempat mengalirkan air ke tanah ketika memandikan jenasah anggota keluarga di atas rumah.
Sebagian lantai masih asli dan bagian-bagian yang rusak dan rapuh ditambal dengan tripleks.


Dari ruang tangah kami terus masuk lebih dalam, ke ruangan yang memiliki atap yang tinggi sehingga kesan luas begitu terasa. Ruang ini memiliki beberapa ruang yang masih digunakan sebagai bilik atau kamar.
Beberapa tonggak berdiri d tengah ruang.
Pada mulanya ruangan ini memiliki pagu, loteng tempat penyimpanan, tetapi sekarang sudah dibongkar sehingga ruangan yang tanpa plafon ini semakin kelihatan sangat luas.

Dibagian belakang ruang dalam yang terdiri dari beberapa bilik adalah dapur. Beberapa perabot rumah tergantung disitu.


Melihat keseluruhan arsitektur rumah ini agak sulit bagiku untuk menentukan tipe rumah gadang ini, sebab pengetahuanku tentang rumah gadang baru sebatas tipe rumah gadang dari lareh Bodi Caniago dan lareh Koto Piliang. 

Ada yang bilang ini merupakan rumah adat Rantau Pasisie karena memiliki serambi yang terbuka yang merupakan ciri khasnya. Rasanya ketidaktahuanku agak sedikit beralasan karena memang beberapa tipe rumah adat yang pernah ada dulu sekarang semakin lama semakin dilupakan orang dan tidak popular lagi, misalnya Rumah Adat Tipe “Tungku Nasi”, Rumah Adat “Kanjang Padati” dan Rumah Adat “Dangau Layag-layang”.

Mungkin dalam perjalanan wisata kali ini, Tim Pulau Api akan mencari bentuk-bentuk rumah ini.