Sabtu, 03 November 2012

Jalan-jalan ke Museum Adityawarman


Catatan PerjalananWisata Tim Pulau Api, November 2010

Meskipun dikabarkan bahwa penerbangan kali ini dilakukan dalam cuaca buruk, tapi pesawat akhirnya mendarat di Bandara Internasional Minangkabau dengan mulus, Alhamdulillah. Cuaca yang berawan tebal menyebabkan tidak ada pemandangan yang terlihat dari kaca jendela, semuanya terlihat putih seperti tertutup kabut, bikin rasa takut. Tapi situasi yang demikian tak berlangsung lama, akhirnya melandas juga.

Dari bandara kami mampir dulu ke rumah di jl A. Yani, membereskan barang bawaan  kemudian bersilaturahmi dengan saudara. Setelah itu bersantai ke tepi laut, menikmati debur ombak sambil mengisi perut,  sengaja kami tidak berlama-lama disana karena perjalanan akan dilanjutkan ke museum 
Adityawarman yang terdapat di Jl Diponegoro sebaai tujuan utama di hari pertama.

Ruang depan


Museum Adityawarman yang juga mengalami kerusakan akibat gempa tahun lalu yang menyebabkan sekitar 300an koleksi keramiknya pecah, baru saja selesai di renovasi lebih kurang sebulan yang lalu. Dan ketika datang, sangat jarang orang yang bertandang, sepi, seolah obyek ini bukan merupakan tempat yang menarik hati.

Sepertinya gema Gerakan Nasional Cinta Museum 2010-2014 kurang mengudara dan tak terbawa angin kemana-mana, membuat hati bertanya-tanya, apakah kira-kira penyebabnya, padahal Museum, selain berfungsi sebagai tempat menyimpan dan memamerkan benda koleksi sejarah, sebetulnya juga mempunyai fungsi lain yaitu sebagai sarana edukasi, mengembangkan dan memperkenalkan budaya yang beragam di Indonesia yang memiliki begitu banyak adat dan budaya yang kesemuanya mungkin tidak bisa diperkenalkan secara mendalam di sekolah, sehingga pemerintah sendiri merasa perlu mencanangkan tahun kunjungan Ke Museum.

Sebagai suatu gerakan nasional sudah semestinya hal ini mendapat perhatian dan persiapan yang cukup dari berbagai aspek, internal maupun eksternal. Perlu dilakukan pembenahan konsep agar fisik maupun materi cukup mampu mengundang untuk orang berkunjung, hal ini tentunya juga harus didukung sosaialisasi dan kampanye serta  promosi program yang sampai pada ke telinga orang banyak. Dan alangkah senangnya ketika berkunjung, pengunjung ditemani pemandu yang cukup mengerti dan paham tentang koleksi yang dipamerkan, sehingga tujuan keberadaan museum dalam mencerdaskan bangsa bukan sekedar tujuan yang cuma sekedar ada dalam angan-angan.

Terus terang dalam beberapakali kunjungan ke museum, kondisi yang kutemukan belum sesuai harapan. Berkeliling sendiri memandangi koleksi dengan hanya sedikit informasi, petugas yang adapun tidak terlalu dapat banyak membantu.

Mengunjungi Museum yang memamerkan beragam koleksi tidak mungkin dilakukan dalam waktu yang singkat, meskipun untuk sekedar melihat-lihat, jadi agar orang merasa nyaman dalam mengelilingi area yang cukup luas, ruangan jangan sampai terasa panas hingga membuat orang jadi keluar bergegas.

Museum Adityawarman yang dibangun pada tahun 1974 ini memiliki arsitektur rumah adat Minangkabau, rumah gadang tipe Gajah Maharam, lengkap dengan dua buah lumbung yang disebut rangkiang yang terdapat didepannya.



Museum budaya ini menyimpan berbagai koleksi sejarah dan merupakan cagar budaya Minangkabau.  

Di halaman depan  tak jauh dari gerbang terdapat pesawat perang yang dikatakan peninggalan Perang dunia II, tapi aku tak berhasil mendapat keterangan lebih lanjut tentang sejarah pesawat ini.

Memasuki Rumah Gadang, berjalan ke arah kiri, kita akan sampai pada ruangan yang memamerkan miniatur rumah adat dan pelaminan mini yang digunakan untuk pengantin Minang lengkap dengan pernak-pernik yang diperlukan pada pesta pernikahan. Pada dinding tercantum Sistem kekerabatan dalam masyarakat dunia yang terdiri dari dua sistem kekerabatan yaitu Matrilineal dan Patrilineal. 

  • Masyarakat Minangkabau menganut sistem Matrilineal yang mempunyai ciri-ciri : Keturunan dihitung menurut garis keturunan ibu
  • Suku dibentuk menurut garis keturunan ibu
  • Perkawinan harus dengan suku lain (eksogami)
  • Sifat perkawinan :matrilokal” (suami pulang ke rumah istri)
  • Kekuasaan suku di tangan ibu (pemegang waris)
  • Hak pusako diwariskan mamak kamanakan.

Dari museum ini juga baru aku tahu bahwa masyarakat Minangkabau juga mengenal budaya membatik sejak zaman Adityawarman berkuasa, ini ditemukannya motif batik tanah Liek yang sering digunakan oleh para penghulu dan bundo kandung dalam setiap upacara adat. 

Batik Tanah Liek dalam proses pembatannya menggunakan perwarnaan alami dari lrutan tanah liat yang akan memberi warna coklat serta warna lain berasal dari kulit dan daun-daun tanaman. Kerajinan membatik ini mulai digalakkan kembali di Kota Padang dan masyarakat Sitiung Kabupaten Dharmasraya.

Menyadari bahwa ternyata kerajinan membatik juga dikenal masyarakat Minangkabau membuatku saat itu langsung berkomentar pada petugas yang kebetulan ada disana:

“ternyata di minangkabau, ada batik juga ya pak” kataku
“ Ah, masa’, saya gak tau” katanya. Jawaban yang sungguh mati membuat aku heran.

Dari lantai atas kami turun ke lantai bawah yang memamerkan berbagai ragam  koleksi pakaian adat, salah satunya Pakaian Urang Ampek jinih. 
Istilah Urang Ampek Jinih ini merujuk pada empat orang pemangku adat dalam satu kaum/suku yang menjalankan aturan adat. 

Mereka adalah Penghulu dan tiga pembantu penghulu yang disebut Manti, Malin dan Dubalang.


Manti adalah orang cerdik pandai dan dipercayai sebagai penyambung tangan dan lidah  dalam menyampaikan penyuluhan, menyelesaikan permasalahan, memegang kata pusaka yang diungkapkan dalam bentuk adigium “kato manti kato salasai, kusuik manyalasaian, karuah manjaniahan. Pakaian Manti berwarna hitam.

Malin adalah orang yang membantu penghulu dalam urusan agama, ia dijuluki suluah bendang dalam nagari yang disimbolkan dengan pakaiannya yang serba putih.

Dubalang disebut juga dengan sebutan hulubalang, orang yang menjaga keamanan kaum dan nagari. Prinsip kepemimpinannya kato mandareh, berdiri dan bertindak diatas kebenaran. Pakaiannya berwarna merah dan memegang tombak.





Museum ini juga memiliki ruang pamer Budaya suku Mentawai, mungkin karena masih dalam taraf berbenah akibat gempa tahun lalu, di salah satu etalase kami hanya menemukan ruang kosong tanpa koleksi yang dipamerkan, kecuali dua buah foto yang dipajang dan tulisan “Jagalah kesopanan anda”, entah apa kaitannya. Disini kita disuguhkan foto-foto yang menggambarkan kegiatan masyarakat Suku Mentawai .



Ketika kami berkeliling ke ruangan-ruangan yang ada di lantai satu, ada peristiwa lucu. Kami sempat heran kok budaya Minang hampir begitu miripnya dengan Kalimantan, karena benda yang dipamerkan adalah yang berkaitan dengan adat dan budaya Kalimantan, dan kebetulan pada saat tersebut ada seorang wanita berseragam melewati kami, maka dengan segera kami bertanya pada beliau tentang keheranan ini. Dengan senyum, beliau menjelaskan bahwa “Ini ruang Nusantara “
Halaaah, pantaslah!, begitulah kalau berjalan tanpa panduan.

Dihalaman luar,terdapat replika arca Adityawarman,  terdapat pula prasasti Saruaso yang juga merupakan replika. Arca Adityawarman yang asli saat ini menjadi koleksi Museum Nasional Jakarta, sementara Prasasti Saruaso terdapat di tempat asalnya.

Kunjungan ke museum ke Adityawarman memang dilakukan secara singkat karena waktu yang mendesak dan tanpa persiapan lebih dulu, namun begitu banyak juga pengetahuan yang kami dapat dari situ, suatu saat aku pasti akan kembali, seharian di dalamnya mempelajari  berbagai koleksinya dengan melakukan persiapan lebih dulu dan minta ditemani pemandu.

Replika Prasasti Adhityawarman

Replika Prasasti Saruaso

Padati
Pelaminan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar