Perjalanan kali
ini dalam rangka menggenapi janji yang pernah diucap di penghujung tahun lalu,
bahwa suatu saat aku akan kembali ke Sawahlunto, kota yang letaknya lebih
kurang 95 km dari ibukota Provinsi Sumatera Barat. Daerah yang terletak di
dataran tinggi itu menyimpan banyak tempat yang bisa diketengahkan untuk
menarik minat para wisatawan untuk mengunjunginya, cerita sejarah maupun
keindahan alamnya adalah sumber daya wisata yang pantas untuk dijual.
Nama Sawahlunto
yang menurut asal-usul yang diturunkan secara lisan, berasal dari kata sawah
dan lunto. Lunto juga adalah nama sungai yang biasa disebut sebagai Batang
Lunto yang menjadi sumber pengairan bagi sawah di kawasan tersebut, anak sungai
yang berhulu di lembah bukit Nagari Lumindai dan mengalir menuju Nagari Lunto.
Cerita lain mengenai asal kata Lunto diturturkan dalam legenda tentang sebuah
pohon besar yang berbunga dan selalu menarik perhatian orang yang melewatinya,
namun tak seorangpun yang tahu apa nama pohon besar yang senantiasa berbunga itu,
sehingga setiapkali ada yang bertanya, penduduk setempat selalu menjawab “alun
tau” yang dilafalkan secara cepat dan singkat, sehingga lama-kelamaan terdengar
seperti luntau =lunto.
Alun tau dalam
bahasa Indonesia berarti belum tau.
Sejak itu (saat
yang tidak dapat dipastikan tepatnya) melekat lah nama Sawahlunto untuk daerah
yang topografisnya berbukit dan berlembah itu, namun nama Sawahlunto secara
resmi mulai tercantum pada tahun 1892 ketika Regeering Almanak van Nederlandsch-Indie diterbitkan, yang
menandakan bahwa mulai tahun itulah nama Sawahlunto masuk dalam peta
geo-politik pemerintah Hindia Belanda.
Semula Sawahlunto
merupakan desa kecil yang pada awalnya tidak menjadi perhatian pemerintah
kolonial Belanda karena dipandang tidak memiliki nilai ekonomis, tanahnya tidak
subur dan tidak dapat dikembangkan menjadi lahan perkebunan, apalagi secara
geografis letaknya juga terpencil, berada di tengah-tengah hutan yang luas,
tetapi setelah ditemukannya kandungan batubara pada tahun 1868 oleh seorang geolog
Belanda yang bernama Ir Willem Hendrik van de Greve, maka seketika tempat yang
tadinya tidak menarik berubah menjadi tempat yang begitu banyak dilirik,
apalagi pada masa tersebut industri-industri yang menggunakan mesin uap
membutuhkan bahan bakar batubara.
Sumber daya alam inilah yang ditemukan
pemerintah kolonial Belanda disana, dan salah satunya ada di sekitar Sungai
Ombilin, nama yang kemudian diabadikan sebagai nama perusahaan.
Sejarah
penambangan di kota yang sekarang ini dikenal dengan sebutan Kota Tambang tua
dan menjadi salah satu obyek wisata sejarah dapat kita telusuri melalui
beberapa peninggalannya yang terkait dengan kegiatan penambangan masa lalu, ada
Lubang Tambang Mbah Soero, Goedang Ransoem dan Museum Kereta Api.
Lubang Tambang Mbah Soero
Lubang Tambang
Mbah Soero, adalah terowongan yang pada zaman dahulunya digunakan dalam
kegiatan penambangan untuk mendapatkan batubara yang pada masa itu merupakan
salah satu material yang digunakan sebagai bahan bakar untuk mesin-mesin uap.
Untuk keperluan pariwisata maka pemerintah setempat telah merenovasi lokasi ini menjadi tempat yang layak dikunjungi baik
dari segi keamanan maupun kemudahan mencapai area dibawah tanah dengan
membangun anak-anak tangga, tentu saja dengan mempertahankan segala keasliannya.
Setiap harinya
pak Win yang bertugas sebagai pemandu wisata akan memastikan bahwa lubang aman
dikunjungi dengan memastikan bahwa tidak ada kandungan gas metan, sistem
ventilasinya baik, penerangannya cukup, sehingga pengunjung akan tetap merasa
aman dan nyaman di lorong sepanjang 185 meter itu.
Sebelum
memasuki area terowongan , terlebih dulu harus membayar tiket masuk yang cukup
murah, Rp 8.000/orang di Info Box-Galeri Tambang yang menyuguhkan bermacam
foto-foto kegiatan penambangan dan juga memamerkan bermacam ukuran rantai yang
dikenakan oleh para pekerja tambang yang sebagian besar adalah para tahanan
yang didatangkan dari berbagai tempat di luar pulau Sumatera dan disebut
sebagai orang rantai.
Info Box,Tempat
yang saat ini digunakan sebagai pusat informasi sejarah tambang batubara
Sawahlunto dulunya merupakan tempat
penumpukan hasil batubara (Stock field)
hasil penambangan yang dibawa keluar melalui Lubang tambang Mbah Soero.
Info Box-Galeri
tambang dan Lubang tambang mbah Soero terletak di di Jl Muhammad Yazid, Lembah
Segar, Kota Sawahlunto.
Pada saat kami
datang, Lubang Tambang Mbah Soero dalam keadaan terkunci dan tidak ada
pengunjung yang datang, entah memang karena pada hari itu lokasi yang berfungsi
seperti museum alam itu tutup seperti museum lainnya yang tidak beroperasi pada
hari Senin atau memang sedang sepi, tetapi karena kemurahan hati Uni Nona yang
bertugas di Info Box, kami dapat masuk.
“Kalau ibu mau
masuk, saya bisa panggilkan guide
untuk memandu ibu”
Aku menjawab
ragu-ragu, membayangkan harus turun ke
lokasi yang lebarnya cuma sekitar satu
meter itu aku tidak terlalu antusias, namun anggota rombongan yang lain
bersikeras.
“Ayo Bun!”
serempak mereka memberi semangat dan mematahkan setiap alasan yang aku kemukakan,
dari mulai merasa tidak akan mampu kalau nanti harus melalui jalan yang mendaki
lagi sampai alasan penyakit asma yang sedang kambuh ditandai dengan batuk-batuk
, tetap saja tak membuat anggota rombongan berhenti membujuk.
Mulanya aku putuskan
untuk menunggu saja sementara yang lainnya turun, tapi ternyata Pak Win
(Willizon) mampu membuat aku juga jadi merasa rugi kalau tidak turun, katanya:
“Sayang bu,
jauh-jauh datang tak melihat lubang Tambang”.
Akhirnya segala alasan yang
dicari-caripun tumbang, aku tertantang
Sebelum turun,
kami harus mengenakan Helm dan sepatu boot seperti layaknya pekerja tambang, kedua
alat tersebut sudah disiapkan dan termasuk dalam harga yang Rp 8.000 itu.
Sesampainya di
depan pintu gerbang yang tertutup, pak Win mengajak kami berdoa dulu sebelum
masuk, entah mengapa suasana tiba-tiba terasa berubah auranya, beliau
senantiasa mengingatkan supaya kami kembali pada niat awal, mengetahui sejarah
dan kisah penambangan batubara.
“jangan
neko-neko dan yang penting nawaitunya bu”
Sebagai pemandu
yang akan menceritakan sejarah dan kisah lain seputar lubang tambang ini,
beliau begitu bersemangat, meski di luar kami sudah berkenalan dengannya,
begitu akan memasuki seolah-olah kami berhadapan dengan pak Win yang lain,
suaranya tegas berat, seperti tengah memberi sambutan, suaranya mengejutkan dan
mengalirkan suasana mencekam
“Sedikit dari
saya, Sesuai dengan amanat dinas pariwisata kota Sawahlunto dst...dst...”
Setelah
mendengarkan salam pembukaan, kamipun dibawanya turun. Ada tiga bagian yang
terdiri dari beberapa anak tangga yang harus kami lalui untuk sampai pada
tempat pertama kami berhenti sebelum melanjutkan perjalanan belok kanan.
Disini pak Win
menjelaskan bahwa dihadapan kami ada bagian yang tertutup dan masih belum
beranak tangga yang disebutnya level 2 dan belum dibuka untuk umum, dikisahkan
oleh beliau yang pernah turun ke dalamnya, disana ada sebuah ruangan besar
seperti aula.
Dan dikatakan
bahwa ruangan itu ditutup bukan karena buntu, katanya lagi:
“terowongan
ini tidak berhenti disini bu, kalau dilanjutkan dia akan sampai di dekat rumah
pak Wali. Bagian menjulang yang digunakan sebagai Menara mesjid sekarang ini
(yang dekat museum kereta api), dulunya adalah cerobong asap”
Disebelah kiri
juga ada bagian yang ditutup, tempat ini disebut sebagai ruang penumbalan,
tempat pekerja tambang yang meninggal
entah oleh sebab sakit, keracunan gas methan ataupun menjadi korban
pertikaian dikuburkan.
Sepanjang
perjalanan menyusuri lubang yang atap dan dindingnya adalah batubara pak Win
mengisahkan riwayat lubang yang semula disebut sebagai Lubang Soegar karena
letaknya di kawasan Soegar dan merupakan lubang pertama yang dibuka pada tahun
1898 yang menyimpan kisah mengenaskan dari para pekerja paksa (orang rantai)
yang berasal dari bermacam daerah di luar Sumatera Barat.
“Semua ini masih orisinil bu, besi tempat mengangtungkan
kabel, bagian kayu, bata-bata, semuanya
masih asli kecuali saluran blower
dan bagian yang kita injak ini”
Hasil tambang
di kawasan ini merupakan batubara yang berkualitas paling bagus karena itu tak
henti-hentinya Pak Win menyuarakan kalimat:
“kita kaya bu, kita kaya!”
Selama kami
bersamanya, aku sebenarnya heran mengapa pak Win selalu berbicara padaku
seolah-olah rombongan kami hanya terdiri dari beliau dan aku saja,
sampai-sampai sempat terfikir olehku
“apakah ada yang salah padaku?” dan ketika
beliau bertanya
“apa ibu ada sakit?”, keherenan itu semakin dalam, apalagi
banyak kisah-kisah yang sedikit beroaroma seram diceritakan pula oleh beliau.
Katanya, pernah
ada salah satu anggota rombongan yang pernah berkunjung kesitu yang terus
menangis sepanjang perjalanan dan ketika ditanyakan apa gerangan yang
membuatnya kelihatan begitu tertekan, dijawab bahwa orang itu menangis karena
melihat betapa beratnya penderitaan para orang rantai yang dipekerjakan disana.
Rupa-rupanya, dia bisa melihat “penampakan”
Kisah lain
mewarnai dan menjadi cerita selingan yang disampaikan pak Willizon, seorang
yang selama 20 tahun bekerja di PT BA dan mengambil pensiun dini pada tahun
2003. Beliau berasal dari D Singkarak dan
beristrikan orang Jawa-Minang dan tinggal tidak jauh dari lokasi lubang tambang
Mbah Soero dan termasuk orang yang dituakan sehingga beliau ikut dalam proyek
renovasi lubang ini yang dilaksanakan pada tanggal 26 Juni 2007 hingga akhir
Desember 2007.
Tempat ini kemudian difungsikan sebagai tempat wisata setelah
diresmikan pada tanggal 23 April 2008. Pengerjaan pembuatan tangga, penerangan,
ventilasi menghabiskan waktu lebih kurang 5 bulan dengan mempekerjakan 13 orang,
karena jasa mereka lah maka kita dapat dengan santai menikmati segala cerita
yang disampaikan pak Win. Puas mendengar berbagai cerita yang dikisahkan kami
kembali melalui jalan yang berbeda, dengan menyusuri jalur ventilasi tibalah
kami di pintu keluar yang terdapat diseberang jalan dari tempat kami masuk,
artinya selama beberapa lama tadi kami semua berada bibawah jalan dan
perumahan.
Lubang (goa)
tambang yang dibangun pada zaman Belanda di tahun 1898 ini berfungsi hingga
tahun 1930 yang kemudian ditutup dengan beton karena terjadi rembesan air
sungai, menyimpan cerita perih mengenai nasib para orang rantai namun juga
menjadi bukti bahwa alam kita memang kaya. Sepatutnya kita jaga.
aku dan pak Win |
Keren Bun...
BalasHapusoo.. ya pas waktu kita kesana sama tim minang explorer Bunda di tanyin pak win Bun....
Kata pak win ibu yang dari jakarta mana?
Hehehe...
mantap..
BalasHapussaya juga pernah ke lubang mbah suro ini. dan banyak lagi objek wisata yang ada di sawahlunto ini.
klik disini untuk kunjungi kami balik.
terima kasih