Catatan PerjalananWisata Tim Pulau Api, November 2010
Meskipun dikabarkan bahwa penerbangan kali ini
dilakukan dalam cuaca buruk, tapi pesawat akhirnya mendarat di Bandara
Internasional Minangkabau dengan mulus, Alhamdulillah. Cuaca yang berawan tebal
menyebabkan tidak ada pemandangan yang terlihat dari kaca jendela, semuanya
terlihat putih seperti tertutup kabut, bikin rasa takut. Tapi situasi yang
demikian tak berlangsung lama, akhirnya melandas juga.
Dari bandara kami mampir dulu ke rumah di jl A.
Yani, membereskan barang bawaan kemudian
bersilaturahmi dengan saudara. Setelah itu bersantai ke tepi laut, menikmati
debur ombak sambil mengisi perut,
sengaja kami tidak berlama-lama disana karena perjalanan akan
dilanjutkan ke museum
Adityawarman yang terdapat di Jl Diponegoro sebaai tujuan
utama di hari pertama.
Ruang depan |
Museum Adityawarman yang juga mengalami kerusakan
akibat gempa tahun lalu yang menyebabkan sekitar 300an koleksi keramiknya
pecah, baru saja selesai di renovasi lebih kurang sebulan yang lalu. Dan ketika
datang, sangat jarang orang yang bertandang, sepi, seolah obyek ini bukan
merupakan tempat yang menarik hati.
Sepertinya gema Gerakan Nasional Cinta Museum 2010-2014
kurang mengudara dan tak terbawa angin kemana-mana, membuat hati bertanya-tanya,
apakah kira-kira penyebabnya, padahal Museum, selain berfungsi sebagai tempat
menyimpan dan memamerkan benda koleksi sejarah, sebetulnya juga mempunyai
fungsi lain yaitu sebagai sarana edukasi, mengembangkan dan memperkenalkan
budaya yang beragam di Indonesia yang memiliki begitu banyak adat dan budaya
yang kesemuanya mungkin tidak bisa diperkenalkan secara mendalam di sekolah,
sehingga pemerintah sendiri merasa perlu mencanangkan tahun kunjungan Ke
Museum.
Sebagai suatu gerakan nasional sudah semestinya hal
ini mendapat perhatian dan persiapan yang cukup dari berbagai aspek, internal
maupun eksternal. Perlu dilakukan pembenahan konsep agar fisik maupun materi
cukup mampu mengundang untuk orang berkunjung, hal ini tentunya juga harus
didukung sosaialisasi dan kampanye serta
promosi program yang sampai pada ke telinga orang banyak. Dan alangkah
senangnya ketika berkunjung, pengunjung ditemani pemandu yang cukup
mengerti dan paham tentang koleksi yang dipamerkan, sehingga tujuan keberadaan
museum dalam mencerdaskan bangsa bukan sekedar tujuan yang cuma sekedar ada dalam angan-angan.
Terus terang dalam beberapakali kunjungan ke
museum, kondisi yang kutemukan belum sesuai harapan. Berkeliling sendiri
memandangi koleksi dengan hanya sedikit informasi, petugas yang adapun tidak
terlalu dapat banyak membantu.
Mengunjungi Museum yang memamerkan beragam koleksi
tidak mungkin dilakukan dalam waktu yang singkat, meskipun untuk sekedar
melihat-lihat, jadi agar orang merasa nyaman dalam mengelilingi area yang cukup
luas, ruangan jangan sampai terasa panas hingga membuat orang jadi keluar bergegas.
Museum Adityawarman yang dibangun pada tahun 1974
ini memiliki arsitektur rumah adat Minangkabau, rumah gadang tipe Gajah
Maharam, lengkap dengan dua buah lumbung yang disebut rangkiang yang terdapat
didepannya.
Museum budaya ini menyimpan berbagai koleksi
sejarah dan merupakan cagar budaya Minangkabau.
Di halaman depan tak jauh dari
gerbang terdapat pesawat perang yang dikatakan peninggalan Perang dunia II,
tapi aku tak berhasil mendapat keterangan lebih lanjut tentang sejarah pesawat
ini.
Memasuki Rumah Gadang, berjalan ke arah kiri, kita
akan sampai pada ruangan yang memamerkan miniatur rumah adat dan pelaminan mini
yang digunakan untuk pengantin Minang lengkap dengan pernak-pernik yang
diperlukan pada pesta pernikahan. Pada dinding tercantum Sistem kekerabatan
dalam masyarakat dunia yang terdiri dari dua sistem kekerabatan yaitu
Matrilineal dan Patrilineal.
- Masyarakat Minangkabau menganut sistem Matrilineal yang mempunyai ciri-ciri : Keturunan dihitung menurut garis keturunan ibu
- Suku dibentuk menurut garis keturunan ibu
- Perkawinan harus dengan suku lain (eksogami)
- Sifat perkawinan :matrilokal” (suami pulang ke rumah istri)
- Kekuasaan suku di tangan ibu (pemegang waris)
- Hak pusako diwariskan mamak kamanakan.
Dari museum ini juga baru aku tahu bahwa masyarakat
Minangkabau juga mengenal budaya membatik sejak zaman Adityawarman berkuasa,
ini ditemukannya motif batik tanah Liek yang sering digunakan oleh para
penghulu dan bundo kandung dalam setiap upacara adat.
Batik Tanah Liek dalam proses pembatannya menggunakan perwarnaan alami dari lrutan tanah liat yang akan memberi warna coklat serta warna lain berasal dari kulit dan daun-daun tanaman. Kerajinan membatik ini
mulai digalakkan kembali di Kota Padang dan masyarakat Sitiung Kabupaten
Dharmasraya.
Menyadari bahwa ternyata kerajinan membatik juga
dikenal masyarakat Minangkabau membuatku saat itu langsung berkomentar pada
petugas yang kebetulan ada disana:
“ternyata di minangkabau, ada batik juga ya pak”
kataku
“ Ah, masa’, saya gak tau” katanya. Jawaban yang sungguh mati membuat aku heran.
Dari lantai atas kami turun ke lantai bawah yang memamerkan
berbagai ragam koleksi pakaian adat,
salah satunya Pakaian Urang Ampek jinih.
Istilah Urang Ampek Jinih ini merujuk pada
empat orang pemangku adat dalam satu kaum/suku yang menjalankan aturan adat.
Mereka adalah Penghulu dan tiga pembantu penghulu yang disebut Manti, Malin dan
Dubalang.
Manti adalah orang cerdik pandai dan dipercayai
sebagai penyambung tangan dan lidah
dalam menyampaikan penyuluhan, menyelesaikan permasalahan, memegang kata
pusaka yang diungkapkan dalam bentuk adigium “kato manti kato salasai, kusuik
manyalasaian, karuah manjaniahan. Pakaian Manti berwarna hitam.
Malin adalah orang yang membantu penghulu dalam
urusan agama, ia dijuluki suluah bendang dalam nagari yang disimbolkan dengan
pakaiannya yang serba putih.
Dubalang disebut juga dengan sebutan hulubalang,
orang yang menjaga keamanan kaum dan nagari. Prinsip kepemimpinannya kato
mandareh, berdiri dan bertindak diatas kebenaran. Pakaiannya berwarna merah dan
memegang tombak.
Museum ini juga memiliki ruang pamer Budaya suku
Mentawai, mungkin karena masih dalam taraf berbenah akibat gempa tahun lalu, di
salah satu etalase kami hanya
menemukan ruang kosong tanpa koleksi yang dipamerkan, kecuali dua buah foto
yang dipajang dan tulisan “Jagalah kesopanan anda”, entah apa kaitannya. Disini
kita disuguhkan foto-foto yang menggambarkan kegiatan masyarakat Suku Mentawai
.
Ketika kami berkeliling ke ruangan-ruangan yang ada
di lantai satu, ada peristiwa lucu. Kami sempat heran kok budaya Minang hampir
begitu miripnya dengan Kalimantan, karena benda yang dipamerkan adalah yang
berkaitan dengan adat dan budaya Kalimantan, dan kebetulan pada saat tersebut
ada seorang wanita berseragam melewati kami, maka dengan segera kami bertanya
pada beliau tentang keheranan ini. Dengan senyum, beliau menjelaskan bahwa “Ini
ruang Nusantara “
Halaaah, pantaslah!, begitulah kalau berjalan tanpa
panduan.
Dihalaman luar,terdapat replika arca
Adityawarman, terdapat pula prasasti
Saruaso yang juga merupakan replika. Arca Adityawarman yang asli saat ini
menjadi koleksi Museum Nasional Jakarta, sementara Prasasti Saruaso terdapat di
tempat asalnya.
Kunjungan ke museum ke Adityawarman memang
dilakukan secara singkat karena waktu yang mendesak dan tanpa persiapan lebih
dulu, namun begitu banyak juga pengetahuan yang kami dapat dari situ, suatu
saat aku pasti akan kembali, seharian di dalamnya mempelajari berbagai koleksinya dengan melakukan
persiapan lebih dulu dan minta ditemani pemandu.
Replika Prasasti Adhityawarman |
Replika Prasasti Saruaso |
Padati |
Pelaminan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar